Thursday, 18 August 2011 23:12
Jakarta, 18/8/2011 (Kominfonewscenter) – Pembangunan kota-kota baru merupakan salah satu strategi yang umumnya dilakukan di berbagai negara yang telah maju dalam mengelola urbanisasi. Anggota Tim Visi Indonesia 2033 Ir. Moh. Jehansyah Siregar MT, PhD mengemukakan di Jakarta Kamis (18/8), salah satu jenis pembangunan kota-kota baru di kawasan metropolitan dan kota-kota besar adalah dengan membangun kota-kota satelit maupun kota-kota mandiri.
.
Jehansyah secara panjang lebar menjelaskan arus urbanisasi yang mendera kota-kota besar dan metropolitan di tanah air akan semakin meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang membuat kota-kota besar begitu memikat dengan berbagai ragam aktifitas pertukaran barang dan jasa. Berdasar data terakhir tahun 2008 jumlah penduduk kota sudah melampaui jumlah penduduk desa, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 68 persen pada tahun 2025.
.
Permasalahan kemudian muncul karena manajemen kota tidak kunjung mampu mengimbangi laju urbanisasi tersebut dengan kapasitas pelayanan kebutuhan dasar yang benar-benar dibutuhkan, seperti perumahan, air bersih, sanitasi, transportasi umum dan massal, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
.
Kekurangan kebutuhan dasar yang terus menerus inilah yang menimbulkan berbagai bencana perkotaan seperti kemacetan, kecelakaan lalu lintas, banjir, permukiman kumuh dan liar, penggusuran, banjir, penyakit menular, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya. Berbagai bentuk ketimpangan dan paradoks sosial-ekonomi-lingkungan kota ini akan semakin meningkat tanpa adanya strategi pembangunan nasional perkotaan dan strategi pembangunan kota-kota.
.
Tanpa strategi, sumber-sumberdaya utama kota semakin meningkat dan terakumulasi hanya dalam lingkaran penguasaan kalangan mampu perkotaan. Kondisi seperti ini bukan hanya menimbulkan masalah kesenjangan, segregasi sosial dan segregasi spasial. Lebih jauh, dalam situasi kesenjangan yang tinggi, harga-harga berbagai barang akan mengalami inflasi. Situasi pengadaan tanah yang hanya diserahkan kepada mekanisme pasar liberal akan mendorong inflasi harga tanah kota secara drastis. Hal ini diperparah dengan peningkatan biaya-biaya utilitas melalui privatisasi. Semua keadaan yang serba liberal ini bermuara kepada semakin miskinnya dan semakin rentannya warga kota secara luas untuk jatuh miskin.
.
Sebelum beranjak ke solusi permasalahan perlu kiranya memahami urbanisasi sebagai sebuah fenomena positif. Memahami urbanisasi sebagai biang masalah perkotaan sehingga harus dicegah merupakan awal dari pandangan yang salah kaprah. Justru manajemen kota itu diperlukan untuk menyerap proses urbanisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengelola pemanfaatan sumberdaya ruang kota dan mengembangkan sistem penyediaan berbagai pelayanan dasar kota.
.
Cara pandang negatif terhadap urbanisasi tidak dapat dipisahkan dari liberalisasi pembangunan kota dan pembiaran-pembiaran dalam pemanfaatan ruang kota. Sebagai dampaknya, kelompok miskin semakin terpinggirkan ke sudut-sudut kota yang tidak layak huni. Mereka mengokupasi tanah-tanah yang bukan untuk permukiman, seperti di kolong jembatan, di belakang gedung-gedung tinggi, di bantaran rel kereta api, bantaran sungai, tanah-tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini semakin meningkatkan pemadatan dan penjalaran permukiman kumuh dan informal perkotaan, persis di tengah berlangsungnya akumulasi modal sekelompok yang beruntung.
.
Pola pembangunan permukiman informal yang menyebar dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang marjinal kota semakin membebani pengelolaan kota. Dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang paling hebat menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana.
.
Inilah penjelasan yang mantap terhadap pertanyaan, mengapa meskipun sudah banyak dibangun kawasan-kawasan permukiman baru di sekitar Jakarta dan Bodetabek, namun permukiman kumuh dan kepadatan kota Jakarta yang menyesakkan tidak kunjung berkurang? Dapat dipahami, jawabannya adalah karena meluasnya kawasan permukiman baru di Jakarta dan sekitarnya berlangsung di bawah iklim manajemen kota yang tetap membiarkan ruang-ruang marjinal kota.
.
Akibatnya, ruang-ruang marjinal kota semakin meluas dan semakin hebat daya tariknya terhadap arus urbanisasi. Ruang-ruang marjinal yang sebelumnya hanya ada di Jakarta kini meluas menjadi ruang-ruang marjinal di seantero Jabodetabek. Dalam rangka menangani tantangan urbanisasi yang cepat itu maka dilakukan berbagai upaya pemerataan pembangunan wilayah dan perkotaan.
.
Rencana pemerintah menyiapkan pembangunan 10 kota baru di 10 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Palembang, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, adalah sebuah prakarsa yang menjanjikan. Rencana ini harus dimengerti sebagai sebuah koreksi atas salah kaprah pemahaman atas fenomena urbanisasi sebelumnya.
Dengan rencana pembangunan kota-kota baru ini berarti pemerintah telah menyadari bahwa urbanisasi bukan hanya tidak bisa dihindari, namun urbanisasi juga adalah fenomena positif yang harus segera direspon dengan baik.
.
Namun ada beberapa koreksi yang perlu segera ilakukan, seperti disebutkan, tujuan pembangunan kota-kota baru bukanlah untuk mengurangi tingginya populasi kota-kota besar (Metropolitan) di Indonesia.
Namun tepatnya adalah untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan mengembangkan berbagai prakarsa menata ruang-ruang marjinalnya secara efektif.
.
Metropolitan-metropolitan yang memiliki angka populasi tinggi namun tertata secara kompak dan berkeadilan, dan di sisi lain kota-kota baru yang terencana sejak awal diringi kapasitas manajemen kota yang memadai, keduanya adalah sama-sama merupakan peluang dan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menata lingkungan yang berkelanjutan. Koreksi lainnya dari prakarsa kota-kota baru tersebut adalah langkah awal yang diambil pemerintah adalah bekerja sama dengan para pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI). ”Ini adalah langkah yang keliru. Hal ini justru akan semakin melanggengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya”, kata Jehansyah.
.
Kapasitas manajemen kota yang lemah dan pembiaran-pembiaran yang dilakukannya, di tengah gencarnya para pengembang swasta membangun berbagai kawasan permukiman, hanya mengulang pola tata ruang yang terpencar-pencar secara eksklusif dan menghasilkan mosaik ruang kota yang tidak beraturan. Praktek “business as usual” ini janganlah diulang-ulang, karena sudah terbukti hanya menghasilkan ruang-ruang marjinal kota yang semakin luas dan semrawut dan semakin jauh dari kemampuan penanganan manajemen kota.
.
Pembangunan kota yang membiarkan praktek bisnis dalam melahap ruang-ruang kota dan tetap memelihara kelemahan kapasitas pemerintah dalam mengelola kota ini akhirnya menghasilkan metropolitan yang semakin besar dan semakin kuat menarik migran dari pedesaan untuk memadati ruang-ruang marjinal kota yang semakin tidak terkelola. Akhirnya pola lama ini justru akan menjauhkan kota-kota sebagai harapan perbaikan kesejahteraan. Sebaliknya, malah tetap menjadikan kota-kota sebagai perangkap kemiskinan yang berkelanjutan.
(myk)
.
http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1549:pembangunan-kota-baru-sebagai-solusi&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54