Jumat, 11 November 2011

10 Provinsi berpotensi kembangkan kota mandiri

Oleh Siti Nuraisyah Dewi

Rabu, 09 November 2011 | 17:20 WIB

JAKARTA: Kementerian Perumahan Rakyat mengidentifikasi 10 lokasi di 10 Provinsi yang memiliki cadangan lahan untuk dikembangkan menjadi kota baru mandiri dari rencana pembangunan 24 kota baru mandiri di 24 Provinsi di Indonesia.
Deputi Pengembangan Kawasan Kemenpera Hazadin T. Sitepu mengatakan pembangunan kota baru tersebut guna mendukung penyediaan permukiman di enam koridor ekonomi dalam masterplan perluasan percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI).

“Kami akan mendukung dan mengedukasi daerah agar membangun kota baru, jangan sampai terlambat sebelum kota tersebut terkena kemacetan. Perkembangan kawasan perkotaan saat ini sangat pesat yang berakibat terjadinya penurunan kemampuan kapasitas daya dukung kawasan permukiman,” kata Hazadin saat dihubungi Bisnis, hari ini.

Menurut Hazadin daya dukung permukiman yang makin menurun mengakibatkan lahan semakin langka dan mahal sehingga pembangunan perumahan menjadi terbatas. Untuk itu, sambungnya, perlu adanya upaya pembangunan kawasan perkotaan baru yang terpadu dan terintegrasi dengan kawasan permukiman yang telah ada.

Dia menjelaskan selain mempercepat terwujudnya MP3EI, pembangunan kota baru mandiri juga akan mengurangi kekurangan (backlog) perumahan nasional, mengurangi tekanan permasalahan di perkotaan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Menurutnya, lahan pengembangan perumahan dan permukiman baru setidaknya seluas 3.000 hektar. Lahan pengembangan terletak di pinggiran kota sehingga harganya relatif murah dan tersedia untuk pembangunan dalam skala besar.

Dia menambahkan pengembangan kawasan perkotaan baru yang terpadu dan terintegrasi memerlukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan baik vertikal maupun horisontal sebagaimana dimaksud dalam UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Jangan sepenuhnya
Sementara itu anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan pembangunan kota baru mandiri sebaiknya tidak diserahkan sepenuhnya kepada pengembang atau pihak swasta karena merupakan tanggung jawab pemerintah.

Menurut dia, pengembang seharusnya hanya dilibatkan sebagai pendukung pengembangan kota baru mandiri tersebut, sedangkan yang melakukan aksi langsung di lapangan adalah pemerintah.

"Seharusnya pemerintah yang membangun prasarana, sarana dan utilitas. Pemerintah juga menentukan luasan dan membuat masterplan kota baru mandiri itu serta menentukan mana untuk pengembang kelas atas, kelas menengah dan kelas menengah bawah. Kebutuhan luasan kota baru mandiri berbeda pada masing-masing daerah," tutur Jehansyah kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.

Jehansyah menjelaskan sedikitnya ada tiga manfaat apabila pengembangan kota baru mandiri diserahkan kepada pemerintah. Pertama, pembangunan kota baru mandiri yang berkeadilan bagi semua golongan masyarakat.

Menurutnya pemerintah sebagai pemimpin pengadaan kota baru mandiri bisa mendapatkan tanah seperti dari hak pengelolaan hutan (HPL) secara gratis. Kedua, sambungnya, kota baru mandiri tersebut memiliki ruang terbuka hijau secara memadai sebesar 50%.

Dia mengatakan jika swasta yang diberikan tanggung jawab, ruang terbuka hijau tergantikan untuk toko komersial. “Pengembang swasta lebih mengutamakan keuntungan, kurang peduli dengan pembangunan yang ramah pada lingkungan,” imbuhnya.

Ketiga, adanya kelengkapan fasilitas dan sarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit, pasar yang terintegrasi dalam kota baru tersebut. “Jika dipegang oleh pihak lain, tiap-tiap unit pemerintahan mempunyai mitra tertentu.” (Bsi)

http://www.bisnis.com/articles/10-provinsi-berpotensi-kembangkan-kota-mandiri

Selasa, 04 Oktober 2011

Rencana Operasi Yustisi Dikritik


JAKARTA - Rencana pemerintah Jakarta mengantisipasi pendatang baru dengan menggelar Operasi Yustisi mendapat kritik. Salah satunya datang dari pengamat perkotaan dari Institut Teknologi Bandung, Muhammad Jehansyah. "Operasi Yustisi itu tidak efektif," ujar dia kemarin. Menurut Jehansyah, penduduk daerah akan selalu memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk mengadu nasib ke kota besar, seperti Jakarta. Jika fenomena ini hanya diantisipasi dengan Operasi Yustisi, dia menilai langkah itu tidak relevan dengan kondisi sekarang."Kalau dilakukan menjelang pemilihan umum justru lebih tepat agar tidak ada pemilih ganda," katanya.
.
Jehansyah mencontohkan kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Beijing, Cina Di sana pemerintah memberi program pelatihan kepada penduduk baru agar memiliki keahlian. "Urbanisasi jadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya," katanya.
.
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, juga berpendapat senada. Menurut dia, selama ini pemerintah rajin menggelar Operasi Yustisi tapi tidak pernah ada evaluasi mengenai keberhasilan kegiatan itu.
.
Menurut Yayat, dari 80 ribu pendatang yang masuk Jakarta selama dua-tiga tahun terakhir, hanya. 20 persen yang bisa dikatakan sukses. Sisanya hanya menjadi beban karena tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal tetap. "Sudah waktunya pemerintah memiliki pemetaan penduduk pendatang," katanya.
.
Dengan pemetaan paling tidak bisa diketahui seberapa besar pendatang yang . masuk Ibu Kota. "Dari sana bisa dilihat bagaimana padatnya penduduk di Jakarta," katanya. Kepadatan itu membuat persaingan hidup makin ketat. "Jangankan pendatang, orang Jakarta saja susah mencari kerja."
.
Sebelumnya, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Purba Hutapea menyatakan pemerintah Jakarta memiliki sejumlah kebijakan untuk mengendalikan jumlah pendatang baru. Operasi Yustisi hanya salah satunya. Dia mengklaim kebijakan itu berhasil menekan jumlah pendatang baru. "Setiap tahun jumlahnya cenderung menurun," katanya. umj

http://bataviase.co.id/node/791614

Senin, 26 September 2011

Property Experts Ask for Concrete Measures Supporting Moratorium Appeal

By Annisa Margrit

Thursday, 08 09 2011

JAKARTA (IFT) – Property observers said that the the National Development Planning Agency's appeal for temporary stoppage of mall and apartment development in Jakarta should be heeded. However, the appeal must be followed by concrete measures from the DKI Jakarta Provincial Government.
.
“The appeal is a good measure. However, appeals on mall and apartment moratoriums are not enough since it needs concrete measures, especially from the regional government,” said Jehansyah Siregar, property and settlement observer from the Institut Teknologi Bandung.
Max Hasudungan Pohan, Deputy of the Regional Development and Regional Autonomy of the National Development Planning Agency, asked for the temporary stoppage of mall and apartment construction in Jakarta to slow down rapid urbanization. According to Max, the moratorium can be done by not granting new licenses for new shopping center developments in Jakarta. According to him, the development which  centers in Jakarta has caused the rise of commuters who work in Jakarta but do not live there, thereby causing heavy traffic in the country’s capital.
.
“DKI Jakarta's regional government is expected to temporarily stop development of malls and apartments within three to five years, to plan infrastructure,” he said.  He also said that the government should encourage foreign investments in infrastructure outside Jakarta and Java. "It will reduce the rate of urbanization. Political will must be exercised in developing regions, meanwhile, the central government must act to boost development in other areas,”  Max said.
.
According to Jehansyah, the DKI Jakarta regional government should respond by managing the region. “The regional government should provide land and decide on the master plan for the development of that region,” he said. The Senayan area could be set as an example of development. “There are shopping centers, office buildings, residential areas and green open spaces which are all integrated,” he said. The agency’s appeal should be used to reevaluate and reorganize the overall master plan of Jakarta, Jehansyah said.
.
Furthermore, he requested for the moratorium not to be hurried since it could directly affect the property industry. “If it is rushed, it might hamper the economy in general. So, it needs to be implemented wisely,” he added. Last month, the DKI Jakarta regional government temporarily stopped the granting of licenses to new shopping center developments of more than 5,000 square meters until 2012. Fauzi Bowo, Governor of DKI Jakarta, said that the moratorium will be reassessed. (*)

http://en.indonesiafinancetoday.com/read/10340/contact

Senin, 19 September 2011

Lippo siap garap 4 kota baru di KTI




Pengembangan proyek butuh lahan minimal 100 hektare per wilayah
OLEH ANUGERAH PERKASA
SITI NURAISYAH DEWI
Bisnis Indonesia
JAKARTA Grup Lippo menyiapkan Rp5 triliun untuk proyek pembangunan kota baru pada empat kota di kawasan timur Indonesia yang akan digarap mulai 2012.
CEO Grup Lippo James Riady mengatakan pihaknya mempersiapkan Rp5 triliun untuk pembangunan kota baru ataupun infrastruktur perkotaan di Makassar, Manado, Kupang, dan Ambon.
"Ada empat township [kota terpadu) yang akan dikembangkan oleh Grup Lippo di kawasan timur Indonesia [KT1|. Kami menyiapkan dana sekitar RpS triliun dan rencananya semuanya akan dimulai pada tahun depan," ujarnya Rabu.
Dia mengungkapkan sangat sedikit lahan di Indonesia yang memiliki infrastruktur baik, bahkan negara ini dianggap memiliki lahan yang minim. Oleh karenaitu, tegas James, Grup Lippo akan terus mengembangkan kota baru ataupun perkotaan sebagai salah satu bentuk investasi infrastruktur.
Menurut dia, Lippo tidak hanya mengembangkan infrastruktur keras, tetapi juga infrastruktur lunak, termasuk fasilitas umum dan pengelolaannya. James menegaskan jika satu kawasan memiliki infrastruktur bagus, akan menarik investasi dari beragam pemodal.
"Walaupun kami melihat [kondisi) yang sedang terjadi di Ambon, justru menunjukkan kota tersebut membutuhkan investasi. Pemerintah juga harus lebih cepat mendorong MP3EI [Mas-teplan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) karena pembangunan ekonomi minim dan infrastruktur di sana kurang. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi karena ketidaklancaran logistik."
Oleh karena itu, papar James, perkotaan baru yang akan dibangun grup perusahaannya diharapkan mampu meningkalkan daya saing seiring dengan diba-ngunnya satu infrastruktur kawasan.
Dia mengungkapkan pihaknya akan mengembangkan tiap-tiap wilayah itu di atas lahan minimal seluas 100 hektare.
Grup lippo telah mengembangkan kawasan terpadu dalam skala besar di Jakarta dan Surabaya. Di Jakarta Barat, PT Lippo Karawaci Tbk mengembangkan The St. Moritz Pen-thouses Residences yang merupakan kawasan hunian dan bisnismiliki 11 fasilitas dunia di dalam satu lokasi.
Kepala Riset
Jonas Lang LaSalle Indonesia Anton Sitorus mengatakan potensi pegembangan kota baru mandiri sangat besar meskipun pengembang harus mengeluarkan investasi lebih besar dibandingkan dengan membangun perumahan biasa.
Lebih menarik
Menurut dia, kota baru mandiri memiliki daya tarik lebih tinggi dibandingkan dengan perumahanbiasa dan potensi kenaikan harganya juga lebih tinggi.
"Saat ini pengembangan kota mandiri mulai dikembangkan di Jabodetabek, Surabaya, dan Medan. Kemacetan di kota besar yang semakin parah membuat masyarakat membutuhkan sebuah kota yang dapat menampung aktivitas penghuninya," tutur Anton, baru-baru ini.
Dia menjelaskan semakin lama masyarakat membutuhkan tempat tinggal, hiburan, pendidikan, kesehatan, dan tempat kerja dalam satu kawasan sehingga dapat menghemat waktu.
Oleh karena itu, lanjutnya, proyek kota baru mandiri memiliki potensi besar untuk di kembangkan pada masa mendatang, sekaligus menciptakan peluang pasar bagi perusahaan properti skala menengah.
"Pembangunan kota mandiri saat ini masih didominasi oleh perusahaan emiten di bidang properti, tetapi juga menciptakan pasar tersendiri bagi perusahaan properti dalam skala menengah. Di mana ada permukiman skala besar, akan ada pembangunan perumahan kecil di sekitarnya."
Anton menuturkan masalah yang perlu diperhatikan adalahpembangunan infrastruktur, terutama akses jalan yang dibangun ke kawasan ini. Oleh karena itu, tegasnya, pemerintah harus bisa mengatur dan mengawasi masalah itu terkait dengan percepatan pembangunan infrastruktur.
Namun, menurut Anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar, menegaskan pembangunan kota baru mandiri sebaiknya tidak diserahkan sepenuhnya kepada pengembang ataupun pihak swasta karena merupakan tanggung jawab pemerintah.
.
Menurut dia, pengembang seharusnya hanya dilibatkan sebagai pendukung pengembangan kota baru mandiri, sedangkan yang melakukan aksi langsung di lapangan adalah pemerintah.
"Seharusnya pemerintah yang membangun prasarana, sarana, dan utilitas. Pemerintah juga menentukan luasan dan membuat master plan [rencana induk] kota baru mandiri serta menentukan mana untuk pengembang kelas atas, kelas menengah, dan bawah. Kebutuhan luasan kota baru mandiri berbeda pada tiap-tiap daerah," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini. (junaidi HALIK) (anugerah.perkasa)

http://www.bataviase.co.id/node/802443

Arrange Jabodetabek Megaurban Area to be More Humane

13 September 2011
Source : Investor Daily
Keyword : Infrastructure Policy

JAKARTA - Indonesian Vision 2033 (Visi Indonesia 2033) Team has urged the government to arrange the Greater Jakarta (Jabodetabek) megaurban area to become a more humane city in providing service to its citizens. A similar matter must also be implemented in other major cities in Java Island, including Bandung.
The recommendation was brought forth in relation to the mounting accident figure during the homecoming period of the 1432 H Eid (Lebaran) season in a discussion themed, ‘Mass Death rite of Homecoming Travellers who have Become the Victims of Development Paradigm and the Requirement to Arrange Indonesia’ in Warung Daun, Cikini, Central Jakarta, on Sunday (11 September).
The discussion presented Visi 2033 Team, which consists of Andrinof A Chaniago and Jehansyah Siregar, as well as the Chairperson of Study Agency of Association of Indonesian Army Retirees (PPAD), Lieutenant General (Ret) Kiki Syahnakri.
During this year’s Lebaran, homecoming (mudik) travellers on motorcycles dominate the accident figure with 4,071 cases. This figure is much higher compared to last year’s 1,616 cases. Police HQ recorded that the accident figure reached 4,071 cases with 682 dead.
Visi Indonesia 2033 Team said that the basic factor causing the mass accidents during the homecoming season is the glaring imbalance of regional attraction between Jakarta and its surroundings (Jabodetabek) and the other regions in both Java and outside Java.
“The imbalance causes the tendency of population shift toward higher urbanisation level, namely, Jabodetabek area,” Andrinof A Chaniago, the team coordinator, said.
“The lack of attention to development in villages makes people migrate to cities. We must build new cities with adequate standards for public interests instead of business interests,” Andrinof said.
Therefore, the team suggested that the central government accelerate development in villages in both Java and outside Java, particularly by reviving the non-agricultural sector and post-harvest economy.
Homecoming ManagementMeanwhile, Jehansyah added that, mass homecoming activity in every Lebaran is inevitable since it is part of human rights to go back home to where they have come from.
“It ends up causing a major problem after the government fails to perform an adequate and humane transportation management,” Jehansyah, who is also an expert of urban planning from ITB, said.
According to Jehansyah, there are many motorcycles involved in the homecoming activities since they have difficulties in obtaining public transportation facilities for themselves and their motorcycles.
Previously, observer of transportation affairs, Darmaningtyas, stated that high accident rate during the homecoming period is caused by the high number of motorcycles used and road infrastructures that are far from perfect.
According to her, this proves that the government has failed to manage homecoming transportation; it has been proved that many regular economy-class buses were, in fact, lacking passenger. “If only my suggestion to Commission V of the House of Representatives that the government should provide subsidy for Lebaran transport was taken, probably, the casualties could have been suppressed,” said Tyas, who is also the executive director of the Institute of Transportation Studies (Instran). (ban)

http://emu.co.id/news_daily_detail.php?id=1530

Senin, 12 September 2011

Pengembangan kota mandiri tanggung jawab pemerintah

Oleh Aprika Rani Hernanda
Minggu, 11 September 2011 | 16:41 WIB

JAKARTA: Praktisi dan pemerhati perumahan menilai pembangunan kota baru mandiri tidak diserahkan sepenuhnya kepada pengembang atau pihak swasta, melainkan merupakan tanggung jawab pemerintah.

Anggota Visi Indonesia 2033 Jehansyah Siregar mengatakan pengembang seharusnya hanya dilibatkan sebagai pendukung pengembangan kota baru mandiri tersebut, pemerintah lah yang melakukan aksi langsung di lapangan.

"Pemerintah seharusnya yang melakukan pembangaunan prasarana, sarana dan utilitas. Pemerintah juga menentukan luasan dan membuat masterplan kota baru mandiri itu serta menentukan mana untuk pengembang kelas atas, kelas menengah dan kelas menengah bawah. Kebutuhan luasan kota baru mandiri berbeda pada masing-masing daerah," tutur Jehansyah saat dihubungi Bisnis hari ini.

Jehansyah menjelaskan setidaknya ada 3 akibat apabila pengembangan kota baru mandiri diserahkan kepada pemerintah. Pertama, pembangunan kota baru mandiri yang berkeadilan bagi semua golongan masyarakat.

Menurutnya pemerintah sebagai pemimpin pengadaan kota baru mandiri bisa mendapatkan tanah seperti dari hak pengelolaan hutan (HPL) secara gratis.

Kedua, sambungnya, kota baru mandiri tersebut memiliki ruang terbuka hijau secara memadai sebesar 50%. Jika swasta yang diberikan tanggung jawab, maka ruang terbuka hijau tergantikan untuk toko komersial.

“Pengembang swasta lebih mengutamakan keuntungan, kurang peduli dengan pembangunan yang ramah pada lingkungan,” imbuhnya.

Dia menambahkan akibat ketiga yakni adanya kelengkapan fasilitas dan sarana seperti jalan, sekolah, rumah sakit, pasar yang terintegrasi dalam kota baru tersebut. Jika dipegang oleh yang lain, masing-masing unit pemerintah mempunyai mitra tertentu.

Menurut Jehansyah pemerintah dapat menyerahkan tanggung jawab public developer tersebut ke Perum Perumnas dengan merevitalisasi menjadi national housing and urban development corporation.

Dalam pembuatan masterplan kota baru, Perumnas nantinya berkonsultasi dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan masing-masing pemerintah daerah. (arh)

http://www.bisnis.com/articles/pengembangan-kota-mandiri-tanggung-jawab-pemerintah


Asosiasi Pengembang Siap Luncurkan Tiga Kota Mandiri di Jawa dan Sulawesi

Thursday, 25 08 2011
By Muhammad Rinaldi

JAKARTA (IFT) – Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia segera meluncurkan tiga kota mandiri pertama, dari rencana 10 kota mandiri baru yang akan dikembangkan asosiasi ini di sejumlah daerah. Tiga kota mandiri tahap pertama akan diluncurkan pada September 2011 berlokasi di Maja (Banten), Gresik Selatan (Jawa Timur), dan Mamminasata (Sulawesi Selatan).

Setyo Maharso, Ketua Umum Real Estat Indonesia, menjelaskan saat ini persiapan desain pengembangan ketiga kota mandiri itu sudah selesai dan siap diluncurkan bulan depan.
Menurut dia, kota-kota mandiri itu memiliki luas lahan yang berbeda-beda. Kota Maja, yang terletak sekira 100 kilometer dari Jakarta, mempunyai luas 12 ribu hektare. Mamminasata, yang merupakan kependekan dari Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar akan memiliki luas 13 ribu hektare. Sedangkan kota mandiri di Gresik Selatan akan memiliki luas 10 ribu hektare.

Sedangkan tujuh kota mandiri lain yang sedang disiapkan desainnya berlokasi di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten-DKI Jakarta. “Semua lahan untuk kota-kota mandiri itu berasal dari pengembang. Sedangkan prasana, sarana, dan utilitasnya mayoritas difasilitasi pemerintah,” katanya.

Setyo menyatakan proyek kota mandiri ini terbuka bagi pengembang manapun. Untuk Kota Maja, konsorsiumnya adalah Banten International City.

Eddy Hussy, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia, menyatakan kota mandiri haruslah memiliki basis ekonomi. “Yang dimaksud dengan berbasis ekonomi, yaitu kota tersebut menjadi tempat tinggal dan tempat bekerja penghuninya. Ada faktor penggerak ekonominya. Dengan begitu, kota tersebut bisa berkembang dan menopang kehidupan penghuninya. Tidak seperti kota mandiri yang sudah ada saat ini,” ujarnya.

Dengan adanya basis ekonomi diharapkan kota-kota mandiri itu tidak akan menjadi beban bagi kota besar di sekitarnya. Eddy menambahkan pengembangan kota mandiri ini memerlukan komitmen serius dari pemerintah, begitu juga bantuan infrastruktur dan perizinan.

Real Estat telah melakukan kesepakatan dengan Kementerian Perumahan Rakyat  dalam mewujudkan proyek yang diperkirakan berlangsung lebih dari 10 tahun ini. Nanti kontribusi yang dapat diberikan pemerintah berupa kemudahan perizinan, aturan mengenai rencana tata ruang wilayah, masterplan pengembangan kota, dan penyediaan infrastruktur. Nantinya, menurut Setyo, pengembang akan membangun 10 kota mandiri tersebut berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan masterplan pengembangan kota.

“Pengembangan kota-kota mandiri ini bertujuan untuk pemerataan pembangunan ke daerah dan mengurangi beban kota-kota besar,” kata Setyo.

Kementerian Perumahan Rakyat dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional melakukan kerja sama pemetaan pembangunan kota mandiri baru di seluruh Indonesia. Dengan kerja sama itu, kedua instansi ini akan melakukan pemetaan lokasi 20 kota baru yang akan dibangun tersebar di seluruh Indonesia.

“Pembangunan kota-kota baru ini merupakan salah satu upaya Kementerian Perumahan Rakyat dalam mengantisipasi semakin padatnya penduduk kota-kota besar,” kata Iskandar Saleh, Sekretaris Kementerian Perumahan Rakyat.

Dia mengatakan informasi geospasial yang dimiliki oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional akan membantu Kementerian Perumahan Rakyat dalam memetakan pembangunan perumahan dan permukiman. Saat ini akses terhadap informasi tersebut hanya dimiliki oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Pemetaan juga diperlukan untuk mengetahui dengan pasti kondisi lokasi permukiman yang akan dibangun.

Dalam pandangan pengamat, prakarsa pembangunan kota-kota mandiri baru yang dilakukan pemerintah bekerja sama dengan pengembang dianggap keliru. Jehansyah Siregar, pengamat permukiman dan perkotaan dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan dengan menggandeng pengembang, pemerintah justru semakin melanggengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya yang semrawut.

Menurut dia, penataan kota-kota yang buruk selama ini disebabkan kapasitas manajemen kota mayoritas developer di Indonesia lemah dan adanya pembiaran oleh pemerintah daerah sebagai otoritas pemberi izin dalam pengembangan kawasan permukiman.

“Kalau pengembangan kota-kota baru itu diserahkan juga kepada pengembang, maka kekhilafan itu akan terulang kembali. Itu hanya akan mengulang pola tata ruang yang bersifat sporadis, eksklusif, dan tidak beraturan. Praktik business as usual ini jangan terus diulang, karena hanya menghasilkan ruang-ruang marjinal kota,” ujarnya. (*)
 
Annisa Margrit

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13534/Asosiasi-Pengembang-Siap-Luncurkan-Tiga-Kota-Mandiri-di-Jawa-dan-Sulawesi

Pemerintah Jangan Alpa Rencanakan Penataan Antar Wilayah

Minggu, 11/09/2011 18:43 WIB Febrina Ayu Scottiati - detikNews

Jakarta - Pembangunan desa dan kota yang timpang menyebabkan migrasi besar-besaran dari desa ke kota, yang menyebabkan kota berada di titik jenuh. Karena itu pemerintah jangan lupa merencanakan penataan antar wilayah agar tidak ada ketimpangan antar kawasan desa dan kota.

“Menata kota-kota dan wilayah maupun kawasan-kawasan pedesaan menjadi perhatian penting karena ini modal penting dalam pembangunan Indonesia secara berkeadilan. Ketimpangan antar kawasan, ada masalah besar dalam menata wilayah,” kata pakar tata kota ITB Jehansyah Siregar.

Jehansyah mencontohkan bidang transportasi, yang bertolak dari tiga hal pokok yaitu perencanaan, infrastruktur, dan manajemen lalu lintas. Namun, pemerintah dinilai lebih fokus pada hal-hal teknis seperti manajemen lalu lintas dan infrastruktur saja dan lupa pada perencanaan

Hal itu disampaikan Jehansyah dalam dialog yang diadakan oleh Tim Visi Indonesia 2033 yang bertajuk `Korban Mudik Lebaran Sebagai Tumbal Paradigma Lama Dalam Pembangunan`, di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/9/2011). Hadir dalam acara, Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD), Letjen (Purn) Kiki Syahnakri dan pakar Tata Kota ITB, Jehansyah Siregar.

Menurutnya, kota yang memiliki penduduk di atas 1 juta jiwa sudah harus mempunyai jaringan transportasi yang baik. Namun hal itu tidak terjadi di Jakarta.

“Pemerintah juga tidak menguatkan kapasitas pengembang publik. Kecenderungan proyek yang sifatnya tahunan bukan terencana hingga jangka panjang. Ini kecenderungan yg perlu diantisipasi. Ke depannya pembangunan perlu mendapat perhatian lebih,” ujarnya.

Sementara mantan Wakil KSAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan terkait pembangunan yang tidak merata menjadi salah satu pemicu diseruduknya kota besar oleh pendatang saat mudik, yang efeknya bisa memakan banyak korban jiwa.

Angka korban kecelakaan saat Lebaran, lanjut Kiki, sebanding dengan korban perang Libya. Menurut data NTMC ada 633 korban yang meninggal sementara data Kemenhub angkanya beda, lebih dari 700 jiwa.

“Bayangkan selama 10 hari ada 700 orang yang meninggal sementara perang Libya selama 4 bulan ada 10 ribu yang tewas. Ini akibat pemerintah lalai mengembangkan mass transportation. Padahal dengan berkembangnya alat transportasi massal seperti MRT, kereta antarkota. Itu ujungnya pasti akan terjadi efisiensi energi. Kalau dilakukan tak perlu ada lagi korban mudik akibat pembangunan yang tidak merata,” tutur Kiki.

(feb/nwk)

http://www.detiknews.com/read/2011/09/11/184315/1719853/10/pemerintah-jangan-alpa-rencanakan-penataan-antar-wilayah?n991103605

Sabtu, 10 September 2011

DKI Jakarta Nyaris Kelebihan Penduduk

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat wilayah Ibu Kota saat ini dihuni oleh sekitar 9,6 juta jiwa pada malam hari. Jumlahnya membengkak menjadi 12 juta jiwa pada siang hari karena ada tambahan komuter. "Daya tampung penduduk Jakarta sudah overload," kata Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Purba Hutapea saat dihubungi kemarin.

Purba mengatakan Jakarta hanya sanggup menampung 12,5 juta jiwa sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2011-2030. "Itu kalkulasi sampai 2030. Bayangkan kalau sekarang saja sudah 12 juta jiwa," ujarnya.

Purba mencatat angka urbanisasi masih cukup tinggi meski trennya terus turun. Pada 2010, sebanyak 59.215 pendatang baru menyesaki Jakarta pasca-Lebaran--turun dari tahun sebelumnya yang 69.554 jiwa. Pada 2008, jumlah pendatang baru tercatat mencapai 88.473 jiwa. Tahun ini diperkirakan jumlahnya sekitar 50 ribu jiwa.

Sebanyak 60 persen pendatang itu, kata dia, berasal dari semua provinsi di Pulau Jawa, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sisanya datang dari wilayah Indonesia lainnya.

Untuk mencegah pendatang baru membanjiri Jakarta, pihaknya akan menggelar tiga kali Operasi Yustisi Kependudukan, yakni pada 22 September, 13 Oktober, dan 3 November 2011. Sasarannya adalah kawasan indekos, permukiman padat, dan apartemen.

Menurut pengamat perkotaan Muhammad Jehansyah, harus ada sinergi antarwilayah untuk mengatasi lonjakan jumlah penduduk Jakarta karena Ibu Kota tak bisa lepas dari daerah di sekitarnya, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Dia menilai pembatasan penduduk bukan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Yang lebih tepat adalah meningkatkan kapasitas pengelolaan manajemen perkotaan. Koordinasi antardaerah juga harus dikuatkan. "Bila perlu buat tim khusus yang berada di bawah langsung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional," kata pengajar di Institut Teknologi Bandung itu.

Kebijakan yang dilahirkan oleh DKI Jakarta dan daerah di sekitarnya, kata dia, juga sering saling berseberangan, seperti pembatasan truk masuk tol dalam kota Jakarta, yang diprotes Kota Tangerang Selatan.

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, menilai sulit mengendalikan lonjakan jumlah penduduk Jakarta karena masalah penduduk bukan sekadar pertambahan. "Tetapi ada soal kemiskinan yang menjadi akar munculnya urbanisasi," ujar Yayat.

Untuk mengatasinya, kata Yayat, pembangunan harus merata di seluruh Indonesia. "Dorong pemerintah daerah untuk mengurus penduduknya. Buka lapangan kerja agar penduduknya tidak lari ke Jakarta."


 

http://www.bataviase.co.id/node/795159

http://www.ceritamu.com/forum/DKI-Jakarta-Nyaris-Kelebihan-Penduduk-m20223.aspx

Kamis, 08 September 2011

Himbauan Moratorium Mal dan Apartemen Harus Diikuti Langkah Konkret

8 September 2011

Pengamat properti menilai  himbauan penghentian sementara pembangunan mal dan apartemen Jakarta oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  sebagai langkah yang perlu diapresiasi. Namun, himbauan tersebut harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Himbauan tersebut merupakan langkah bagus. Tapi, sekadar himbuan untuk moratorium mal dan apartemen saja tidak cukup karena memerlukan langkah konkret, terutama dari pemerintah daerah,” tutur  Jehansyah Siregar, pengamat properti dan pemukiman dari Institut Teknologi Bandung , di Jakarta, Rabu.
.
Max Hasudungan Pohan, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kemarin meminta adanya penghentian sementara atau moratorium terhadap pembangunan mal dan apartemen di Jakarta sebagai cara untuk mengurangi daya tarik Jakarta sehingga tidak lagi menjadi target urbanisasi.
.
Menurut Max, moratotium  tersebut dilakukan dengan kebijakan tidak memberi izin baru bagi pembangunan pusat perbelanjaan baru di kawasan Jakarta. Menurutnya, pembangunan yang berpusat di Jakarta mendorong munculnya “kalangan pelaju” yaitu orang-orang yang bekerja di Jakarta tapi tidak tinggal di wilayah sekitar Jakarta. Konimitas yang banyak menggunakan kendaraan bermotor ini memicu kemacetan parah di Ibu Kota.
.
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta diharapkan bisa melakukan jeda pembangunan 3-5 tahun pembangunan mal dan apartemen untuk lebih membenahi infrastruktur. Sehingga paling tidak daya tarik Jakarta itu harus dihentikan sementara,” katanya.
.
Selain itu, kata Max, pemerintah juga harus mendorong investor swasta untuk meningkatkan infrastruktur di daerah. Menurut dia, dlam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, rencana pembangunan jangka panjang telah digariskan akan difokuskan pengembangan daerah-daerah lain di luar Jawa. “Jadi otomatis yang menekan urbanisasi sekarang tidak ada, memerlukan waktu. Jadi yang bisa dikejar adalah kemauan politik bagaimana membangun daerah, yang pusat juga harus ada kemauan besar untuk mendorong pembangunan di daerah lain” ungkapnya.
.
Menurut Jehansyah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus merespons dengan segera melakukan pengambilalihan kawasan. “Pengambilalihan kawasan bukan berarti pemerintah provinsi menguasai semua lahan, tapi menyediakan lahan dan menentukan masterplan pengembangan kawasan tersebut,” terangnya.
Daerah Senayan, kata Jehansyah, bisa dijadikan contoh pengambilalihan dan pengembangan kawasan. “Ada lokasi perbelanjaan, perkantoran, perumahan, ruang terbuka hijau, yang semuanya terpadu,” jelasnya.
.
Menurut Jehansyah, himbauan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional harus digunakan sebagai momen untuk mengevaluasi dan mengatur kembali masterplan Jakarta secara keseluruhan. “Jangan seperti sekarang, pembangunan superblok yang terpencar-pencar dan terpisah, tidak terpadu. Di antara superblok-superblok itu ada kantong-kantong kawasan masyarakat yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Bayangkan kalau semua kawasan itu, superblok dan kantong-kantong pemukiman di antaranya, bisa dipadukan,” tuturnya.
.
Namun, dia meminta agar moratorium tersebut tidak dilakukan tergesa-sesa karena moratorium tersebut  bisa langsung berimbas pada industri properti. “ Ujung-ujungnya akan menghambat perekonomian secara umum. Jadi, perlu direspon dengan bijak,” tambahnya.
.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bulan lalu telah menghentikan sementara pemberian izin pembangunan pusat perbelanjaan baru dengan luas bangunan di atas 5.000 meter persegi hingga 2012. Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, mengatakankebijakan moratorium itu selanjutnya akan dikaji kembali. Penghentian izin pembangunan mall tidak akan diberlakukan kepada pengembang yang sudah mengantongi izin.

IFT online

Berharap efisiensi dari kawasan terpadu


.
OLEH SITI NURAISYAH DEWI
Wartawan Bisnis Indonesia
.
Kawasan terpadu akan menjadi tren pembangunan bagi para pengembang di Ibu Kota mengingat semakin macetnya Jakarta yang menyebabkan super-blok memiliki permintaan pasar yang semakin tinggi.
Konsultan properti Panangian Simanungkalit mengatakan persaingan pembangunan superblok akan terus terjadi pada masa yang akan datang.
.
Hal itu karena investasi properti yang semakin meningkat dan minimnya infrastruktur membual orang ingin beraktivitas di dalam satu kawasan saja. Selain itu. adanya tren global di kalangan masyarakat urban di kota besar.
.
"Indonesia sudah diterjang gaya hidup global. Di Tangerang dan Serpong misalnya, sudah ada superblok karena poinnya adalah menginginkan efisiensi." kata Panangian, baru-baru ini. Agus Wirajaya, Chief Marketing Officer PT Jakarta Really, mengatakan ke depan, orang akan semakinmembutuhkan superblok karena memberikan beberapa kemudahan bagi penghuninya dari yang selama ini menjadi komuter.
.
Sementara itu. M. Crahandaka, analis dari Vibiz Research Center, mengatakan maraknya pembangunan kawasan terpadu memiliki sejumlah keuntungan yakni efisiensi, one stop liling, dan mengurangi kemacetan.
Untuk efisiensi, paparnya, pola penduduk perkotaan yang berkembang saat ini membuat semakin banyak pula kaum komuter. Ini tentu karena keterbatasan lahan untuk pembangunan tempat tinggal.
.
Hal itu pula yang menyebabkan mereka banyak yang bertempat tinggal di luar Jakarta, tetapi bekerja di Ibu Kota.
.
"Inilah vang ingin diambil oleh pengembang dengan memberikan solusi baru dajam hal efisiensi waktu, biaya, dan jarak melalui pengembangan kawasan dengan konsep superblok. Ternyata hal itu banyak menarik perhatian masyarakat," tutur Crahandaka seperti dikutip dalam situs Vibiz.
.
Namun, menurut dia, sejumlahaspek yang perlu diperhatikan dari pengembangan superblok di antaranya identitas yakni lebih menekankan pada penciptaan suatu identitas atau konsep yang berbeda. Dalam hal ini. yang perlu diperhatikan adalah berbagai fungsi dan peruntukan dalam suatu lahan superblok.
.
"Minimal ada dua peruntukan dari superblok yakni hunian dan pusat perbelanjaan. Sirkulasi kendaraan juga menjadi perhatian karena harus dirancang seefisien mungkin," ujar Crahandaka. Selain itu. superblok juga seharusnya memperhatikan area untuk pedestrian, di mana integrasi dari satu bangunan ke bangunan lain harus dibangun dengan unsur kenyamanan.
.
Harus dibatasi
.
Menurut Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar, untuk mengatasi kemacetan lalu lintas tidak bisa hanya dengan mereformasi sistem transportasi angkutan umum, tetapi juga pembatasan pembangunan superblok yang saat ini sudah semakin marak, seperti di kawasan
Sudirman dan Mega Kuningan, Jakarta.
.
"Keberadaan superblok itu justru penyumbang besar kemacetan di Jakarta. Coba hitung berapa jumlah karyawan yang bekerja pada dua kawasan itu, mereka pada umumnya menggunakan sepeda motor dan mobil pribadi karena jarak tempuh bangunan yang cukup jauh satu dengan yang lain." tutur Jehansyah.
.
Dia mengungkapkan kalangan yang mampu tinggal di kawasan superblok hanya sedikit jumlahnya, sehingga tidak memberikan kontribusi positif terhadap pengurangan kemacetan. "Jadi, pihak yang mengklaim kawasan superblok dapat mengurangi pergerakan transportasi karena hunian dan tempat kerja berada di satu lokasi, tidak benar," tegasnya.
.
Arsitek Ridwan Kamil mengatakan idealnya kawasan superblok mampu menjadi kawasan yang mandiri, di mana warga kota bisa tinggal, bekerja, dan berekreasi dalam satu lokasi. Jika ini terjadi, ketergantungan warga kota untuk bepergian dengan kendaraan yang boros energi akan berkurang.
.
Menurut dia, untuk kasus Jakarta, idealnya warga kota yang berkantor di Kuningan misalnya, juga tinggal di kawasan yang sama.Dengan konsep itu, kualitas waktu untuk berinteraksi sosial dengan keluarga pun bisa tetap dipertahankan dan waktu bekerja yang produktif bisa jauh lebih tinggi karena lokasi tempat kerja dan tinggal yang berdekatan.
.
Ridwan menjelaskan secara regional, jika konsep superblok yang mandiri ini teraplikasikan dengan baik dan jumlahnya bisa berkembang secara signifikan, permasalahan ketidakefisienan sistem urban bisa dikurangi.
"Apalagi, jika antar-kawasan superblok mandiri ini bisa terkoneksi dengan baik oleh transportasi publik." tuturnya seperti dikutip dalam blog pribadinya, (siti.nuraisyah@bisnis.id)
.
http://www.bataviase.co.id/node/787494

Selasa, 06 September 2011

Asosiasi Pengembang Siap Luncurkan Tiga Kota Mandiri di Jawa dan Sulawesi

Thursday, 25 08 2011
© INDONESIA FINANCE TODAY
By Muhammad Rinaldi

JAKARTA (IFT) – Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia segera meluncurkan tiga kota mandiri pertama, dari rencana 10 kota mandiri baru yang akan dikembangkan asosiasi ini di sejumlah daerah. Tiga kota mandiri tahap pertama akan diluncurkan pada September 2011 berlokasi di Maja (Banten), Gresik Selatan (Jawa Timur), dan Mamminasata (Sulawesi Selatan).

Setyo Maharso, Ketua Umum Real Estat Indonesia, menjelaskan saat ini persiapan desain pengembangan ketiga kota mandiri itu sudah selesai dan siap diluncurkan bulan depan.
Menurut dia, kota-kota mandiri itu memiliki luas lahan yang berbeda-beda. Kota Maja, yang terletak sekira 100 kilometer dari Jakarta, mempunyai luas 12 ribu hektare. Mamminasata, yang merupakan kependekan dari Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar akan memiliki luas 13 ribu hektare. Sedangkan kota mandiri di Gresik Selatan akan memiliki luas 10 ribu hektare.

Sedangkan tujuh kota mandiri lain yang sedang disiapkan desainnya berlokasi di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Banten-DKI Jakarta. “Semua lahan untuk kota-kota mandiri itu berasal dari pengembang. Sedangkan prasana, sarana, dan utilitasnya mayoritas difasilitasi pemerintah,” katanya.

Setyo menyatakan proyek kota mandiri ini terbuka bagi pengembang manapun. Untuk Kota Maja, konsorsiumnya adalah Banten International City.

Eddy Hussy, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia, menyatakan kota mandiri haruslah memiliki basis ekonomi. “Yang dimaksud dengan berbasis ekonomi, yaitu kota tersebut menjadi tempat tinggal dan tempat bekerja penghuninya. Ada faktor penggerak ekonominya. Dengan begitu, kota tersebut bisa berkembang dan menopang kehidupan penghuninya. Tidak seperti kota mandiri yang sudah ada saat ini,” ujarnya.

Dengan adanya basis ekonomi diharapkan kota-kota mandiri itu tidak akan menjadi beban bagi kota besar di sekitarnya. Eddy menambahkan pengembangan kota mandiri ini memerlukan komitmen serius dari pemerintah, begitu juga bantuan infrastruktur dan perizinan.

Real Estat telah melakukan kesepakatan dengan Kementerian Perumahan Rakyat  dalam mewujudkan proyek yang diperkirakan berlangsung lebih dari 10 tahun ini. Nanti kontribusi yang dapat diberikan pemerintah berupa kemudahan perizinan, aturan mengenai rencana tata ruang wilayah, masterplan pengembangan kota, dan penyediaan infrastruktur. Nantinya, menurut Setyo, pengembang akan membangun 10 kota mandiri tersebut berdasarkan rencana tata ruang wilayah dan masterplan pengembangan kota.

“Pengembangan kota-kota mandiri ini bertujuan untuk pemerataan pembangunan ke daerah dan mengurangi beban kota-kota besar,” kata Setyo.

Kementerian Perumahan Rakyat dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional melakukan kerja sama pemetaan pembangunan kota mandiri baru di seluruh Indonesia. Dengan kerja sama itu, kedua instansi ini akan melakukan pemetaan lokasi 20 kota baru yang akan dibangun tersebar di seluruh Indonesia.

“Pembangunan kota-kota baru ini merupakan salah satu upaya Kementerian Perumahan Rakyat dalam mengantisipasi semakin padatnya penduduk kota-kota besar,” kata Iskandar Saleh, Sekretaris Kementerian Perumahan Rakyat.

Dia mengatakan informasi geospasial yang dimiliki oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional akan membantu Kementerian Perumahan Rakyat dalam memetakan pembangunan perumahan dan permukiman. Saat ini akses terhadap informasi tersebut hanya dimiliki oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Pemetaan juga diperlukan untuk mengetahui dengan pasti kondisi lokasi permukiman yang akan dibangun.

Dalam pandangan pengamat, prakarsa pembangunan kota-kota mandiri baru yang dilakukan pemerintah bekerja sama dengan pengembang dianggap keliru. Jehansyah Siregar, pengamat permukiman dan perkotaan dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan dengan menggandeng pengembang, pemerintah justru semakin melanggengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya yang semrawut.

Menurut dia, penataan kota-kota yang buruk selama ini disebabkan kapasitas manajemen kota mayoritas developer di Indonesia lemah dan adanya pembiaran oleh pemerintah daerah sebagai otoritas pemberi izin dalam pengembangan kawasan permukiman.

“Kalau pengembangan kota-kota baru itu diserahkan juga kepada pengembang, maka kekhilafan itu akan terulang kembali. Itu hanya akan mengulang pola tata ruang yang bersifat sporadis, eksklusif, dan tidak beraturan. Praktik business as usual ini jangan terus diulang, karena hanya menghasilkan ruang-ruang marjinal kota,” ujarnya. (*)
 
Annisa Margrit
 
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13534/Asosiasi-Pengembang-Siap-Luncurkan-Tiga-Kota-Mandiri-di-Jawa-dan-Sulawesi

Kamis, 25 Agustus 2011

Pengembangan Kota Baru Butuh Koordinator




Oleh Eko Adityo Nugroho

JAKARTA - Pemerintah perlu membentuk lembaga untuk mengoordinasikan pengembangan kota-kota baru di berbagai wilayah Indonesia. Lembaga bertugas untuk mendampingi dan mengawasi peruntukan kota baru sesuai kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
.
Koordinator bisa berasal dari lembaga tinggi pemerintah maupun bentukan lembaga baru. "Lembaga yang menjadi koordinator bisa dari Wakil Presiden, Kementerian Koordinator Perekonomian, Bappenas, atau bentuk kementerian tersendiri," tutur pendiri Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) Zulfi Syarif Koto kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (22/8).
.
Koordinator, lanjutnya, mendampingi proses pengembangan kota-kota baru sesuai dengan arahan dalam kebijakan. Lembaga ini diharapkan mencegah terjadinya pelanggaran tata ruang wilayah (RTRW) kota baru, termasuk peruntukanya. "Kalau pengawasan pengembangan kota baru dilimpahkan kepada pemerintah daerah, pembangunannya akan berjalan sendiri-sendiri sesuai kemauannya," paparnya.
Dia menjelaskan, kota baru harus dibangun sesuai RTRW induk atau tata ruang provinsi. Kota baru dikembangkan sejalan dengan rencana infrastruktur dan fasilitas sosial yang telah ditetapkan pemerintah daerah.
.
Pemerintah berencana membangun sebanyak 10 kota baru mandiri di berbagai wilayah Indonesia. Lokasi pengembangan diproyeksikan di Sumatera Utara, Riau, Palembang, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
.
Lembaga Baru
.
Pandangan senada diungkapkan oleh pemerhati perumahan dan tata kota dari ITB M. Jehansyah Siregar. Menurut dia, pengembangan kota baru harus di bawah kendali pemerintah. Perpanjangan tangan pemerintah bisa melalui lembaga bentukan yang memiliki kewenangan penuh untuk pengawasan pengembangan kota baru itu. Lembaga ini bertugas mengonsentrasikan pembangunan prasarana dan sarana, utilitas dan fasilitas permukiman, serta membagi-bagi kawasan siap bangun. Lembaga ini juga wajib memimpin dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang terlibat, baik kalangan pengusaha swasta, koperasi, maupun kelompok-kelompok masyarakat.
.
"Peran ini tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta maupun pihak-pihak lainnya. Inilah yang disebut sebagai public sector-led large scale settlements/new towns development," terang dia. Guna menjalankan kepemimpinan sektor publik dalam pengembangan kota-kota baru, jelas Jehansyah, ada beberapa prakondisi, yaitu kemauan politik kuat untuk menempatkan sektor publik sebagai pemimpin pembangunan kota-kota baru. Pengembangan kota baru juga harus didukung dengan kebijakan yang jelas.
.
"Pelaksanaan kebijakan-kebijakan ini perlu dijamin melalui kerangka regulasi yang sinkron dan harmonis, seperti New Town Development Law untuk menjamin pembangunan kota baru berjalan dengan baik, terhindar dari praktik spekulasi dan miskoordinasi," katanya.
.
Lembaga ini harus memiliki kapasitas yang memadai untuk memimpin pengembangan kawasan secara terpadu dilengkapi berbagai perangkat pendukung, seperti Agency Integrity Pact, Land Speculation Report Center, dan sebagainya, sebagaimana diterapkan di lembaga-lembaga sejenis di negara lain. "Sebagai langkah aksinya, pemerintah perlu memantapkan peran dan kapasitas pengembang publik, baik di tingkat nasional maupun daerah," ujar dia.


http://www.investor.co.id/property/pengembangan-kota-baru-butuh-koordinator/18778

http://bataviase.co.id/node/781540

Senin, 22 Agustus 2011

Pengembangan Kota Baru Dikritisi

Oleh Eko Adityo Nugroho | Senin, 22 Agustus 2011 | 13:12

JAKARTA - Praktisi perumahan dan tata kota menilai pengembangan kota-kota mandiri baru yang direncanakan pemerintah dan pengembang keliru jika bertujuan mengurangi populasi di kotakota metropolitan.

Tujuan sebenarnya adalah untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan untuk menata ruang-ruang marginalnya secara efektif. “Rencana ini harus dimengerti sebagai sebuah koreksi atas salah kaprah pemahaman atas fenomena urbanisasi,” papar praktisi perumahan dan tata kota dari Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar, kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dia menambahkan, rencana pembangunan kota-kota baru ini, menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa urbanisasi bukan hanya tidak bisa dihindari, tapi juga fenomena positif yang harus direspons dengan baik.

Urbanisasi yang terjadi tiap tahun, lanjutnya, membuat ruang-ruang marginal di kota metropolitan makin luas dan melebar ke wilayah pinggiran Jakarta. Itu terjadi karena manajemen perkotaan yang lemah dan membiarkan ruang-ruang marginal atau sisa ruang perkotaan berkembang secara tidak terencana.

Baca selengkapnya di Investor Daily versi cetak


http://www.investor.co.id/home/pengembangan-kota-baru-dikritisi/18684#Scene_1

Sabtu, 20 Agustus 2011

PEMBANGUNAN KOTA BARU SEBAGAI SOLUSI

Thursday, 18 August 2011 23:12

Jakarta, 18/8/2011 (Kominfonewscenter) – Pembangunan kota-kota baru merupakan salah satu strategi yang umumnya dilakukan di berbagai negara yang telah maju dalam mengelola urbanisasi. Anggota Tim Visi Indonesia 2033 Ir. Moh. Jehansyah Siregar MT, PhD mengemukakan di Jakarta Kamis (18/8), salah satu jenis pembangunan kota-kota baru di kawasan metropolitan dan kota-kota besar adalah dengan membangun kota-kota satelit maupun kota-kota mandiri.
.
Jehansyah secara panjang lebar menjelaskan arus urbanisasi yang mendera kota-kota besar dan metropolitan di tanah air akan semakin meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang membuat kota-kota besar begitu memikat dengan berbagai ragam aktifitas pertukaran barang dan jasa. Berdasar data terakhir tahun 2008 jumlah penduduk kota sudah melampaui jumlah penduduk desa, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 68 persen pada tahun 2025.
.
Permasalahan kemudian muncul karena manajemen kota tidak kunjung mampu mengimbangi laju urbanisasi tersebut dengan kapasitas pelayanan kebutuhan dasar yang benar-benar dibutuhkan, seperti perumahan, air bersih, sanitasi, transportasi umum dan massal, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
.
Kekurangan kebutuhan dasar yang terus menerus inilah yang menimbulkan berbagai bencana perkotaan seperti kemacetan, kecelakaan lalu lintas, banjir, permukiman kumuh dan liar, penggusuran, banjir, penyakit menular, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya. Berbagai bentuk ketimpangan dan paradoks sosial-ekonomi-lingkungan kota ini akan semakin meningkat tanpa adanya strategi pembangunan nasional perkotaan dan strategi pembangunan kota-kota.
.
Tanpa strategi, sumber-sumberdaya utama kota semakin meningkat dan terakumulasi hanya dalam lingkaran penguasaan kalangan mampu perkotaan. Kondisi seperti ini bukan hanya menimbulkan masalah kesenjangan, segregasi sosial dan segregasi spasial. Lebih jauh, dalam situasi kesenjangan yang tinggi, harga-harga berbagai barang akan mengalami inflasi. Situasi pengadaan tanah yang hanya diserahkan kepada mekanisme pasar liberal akan mendorong inflasi harga tanah kota secara drastis. Hal ini diperparah dengan peningkatan biaya-biaya utilitas melalui privatisasi. Semua keadaan yang serba liberal ini bermuara kepada semakin miskinnya dan semakin rentannya warga kota secara luas untuk jatuh miskin.
.
Sebelum beranjak ke solusi permasalahan perlu kiranya memahami urbanisasi sebagai sebuah fenomena positif. Memahami urbanisasi sebagai biang masalah perkotaan sehingga harus dicegah merupakan awal dari pandangan yang salah kaprah. Justru manajemen kota itu diperlukan untuk menyerap proses urbanisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengelola pemanfaatan sumberdaya ruang kota dan mengembangkan sistem penyediaan berbagai pelayanan dasar kota.
.
Cara pandang negatif terhadap urbanisasi tidak dapat dipisahkan dari liberalisasi pembangunan kota dan pembiaran-pembiaran dalam pemanfaatan ruang kota. Sebagai dampaknya, kelompok miskin semakin terpinggirkan ke sudut-sudut kota yang tidak layak huni. Mereka mengokupasi tanah-tanah yang bukan untuk permukiman, seperti di kolong jembatan, di belakang gedung-gedung tinggi, di bantaran rel kereta api, bantaran sungai, tanah-tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini semakin meningkatkan pemadatan dan penjalaran permukiman kumuh dan informal perkotaan, persis di tengah berlangsungnya akumulasi modal sekelompok yang beruntung.
.
Pola pembangunan permukiman informal yang menyebar dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang marjinal kota semakin membebani pengelolaan kota. Dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang paling hebat menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana.
.
Inilah penjelasan yang mantap terhadap pertanyaan, mengapa meskipun sudah banyak dibangun kawasan-kawasan permukiman baru di sekitar Jakarta dan Bodetabek, namun permukiman kumuh dan kepadatan kota Jakarta yang menyesakkan tidak kunjung berkurang? Dapat dipahami, jawabannya adalah karena meluasnya kawasan permukiman baru di Jakarta dan sekitarnya berlangsung di bawah iklim manajemen kota yang tetap membiarkan ruang-ruang marjinal kota.
.
Akibatnya, ruang-ruang marjinal kota semakin meluas dan semakin hebat daya tariknya terhadap arus urbanisasi. Ruang-ruang marjinal yang sebelumnya hanya ada di Jakarta kini meluas menjadi ruang-ruang marjinal di seantero Jabodetabek. Dalam rangka menangani tantangan urbanisasi yang cepat itu maka dilakukan berbagai upaya pemerataan pembangunan wilayah dan perkotaan.
.
Rencana pemerintah menyiapkan pembangunan 10 kota baru di 10 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Palembang, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, adalah sebuah prakarsa yang menjanjikan. Rencana ini harus dimengerti sebagai sebuah koreksi atas salah kaprah pemahaman atas fenomena urbanisasi sebelumnya.
Dengan rencana pembangunan kota-kota baru ini berarti pemerintah telah menyadari bahwa urbanisasi bukan hanya tidak bisa dihindari, namun urbanisasi juga adalah fenomena positif yang harus segera direspon dengan baik.
.
Namun ada beberapa koreksi yang perlu segera ilakukan, seperti disebutkan, tujuan pembangunan kota-kota baru bukanlah untuk mengurangi tingginya populasi kota-kota besar (Metropolitan) di Indonesia.
Namun tepatnya adalah untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan mengembangkan berbagai prakarsa menata ruang-ruang marjinalnya secara efektif.
.
Metropolitan-metropolitan yang memiliki angka populasi tinggi namun tertata secara kompak dan berkeadilan, dan di sisi lain kota-kota baru yang terencana sejak awal diringi kapasitas manajemen kota yang memadai, keduanya adalah sama-sama merupakan peluang dan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menata lingkungan yang berkelanjutan. Koreksi lainnya dari prakarsa kota-kota baru tersebut adalah langkah awal yang diambil pemerintah adalah bekerja sama dengan para pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI). ”Ini adalah langkah yang keliru. Hal ini justru akan semakin melanggengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya”, kata Jehansyah.
.
Kapasitas manajemen kota yang lemah dan pembiaran-pembiaran yang dilakukannya, di tengah gencarnya para pengembang swasta membangun berbagai kawasan permukiman, hanya mengulang pola tata ruang yang terpencar-pencar secara eksklusif dan menghasilkan mosaik ruang kota yang tidak beraturan. Praktek “business as usual” ini janganlah diulang-ulang, karena sudah terbukti hanya menghasilkan ruang-ruang marjinal kota yang semakin luas dan semrawut dan semakin jauh dari kemampuan penanganan manajemen kota.
.
Pembangunan kota yang membiarkan praktek bisnis dalam melahap ruang-ruang kota dan tetap memelihara kelemahan kapasitas pemerintah dalam mengelola kota ini akhirnya menghasilkan metropolitan yang semakin besar dan semakin kuat menarik migran dari pedesaan untuk memadati ruang-ruang marjinal kota yang semakin tidak terkelola. Akhirnya pola lama ini justru akan menjauhkan kota-kota sebagai harapan perbaikan kesejahteraan. Sebaliknya, malah tetap menjadikan kota-kota sebagai perangkap kemiskinan yang berkelanjutan. (myk)
.
http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1549:pembangunan-kota-baru-sebagai-solusi&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54

Rabu, 17 Agustus 2011

Libatkan Swasta, Pengembangan Kota Baru Dinilai Keliru

JAKARTA (IFT) - Prakarsa pembangunan kota-kota baru yang dilakukan pemerintah be­kerja sama dengan pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia dianggap ke­liru.

Jehansyah Siregar, pe­nga­mat permukiman dan per­kotaan dari Institut Teknologi Bandung mengatakan dengan menggandeng pengembang, pe­merintah justru semakin melang­gengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya yang semrawut.

Menurut dia, penataan kota-kota yang butuk selama ini di­sebabkan kapasitas manajemen kota mayoritas developer di Indonesia yang lemah dan adanya pembiaran oleh pemerintah daerah sebagai otoritas pemberi izin dalam pengembangan ka­wasan permukiman.

“Kalau pengembangan kota-kota baru itu diserahkan juga ke­pada pengembang, maka kekhi­lafan itu akan terulang kem­bali.   Kita hanya akan mengulang pola tata ruang yang bersifat sporadis, eksklusif dan tidak beraturan. Praktek business as usual ini jangan terus diulang, karena hanya menghasilkan ruang-ruang mar­jinal kota,” tegasnya, Selasa.

Jehansyah menambahkan tujuan pembangunan kota-kota baru bukanlah untuk mengurangi tingginya populasi kota-kota besar di Indonesia. Namun untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan mengembangkan berbagai pra­karsa untuk menata ruang-ruang marjinalnya secara efektif.

Pengembangan kota-ko­ta baru yang dicanangkan peme­­rintah dan developer membutuhkan pusat-pusat ekonomi untuk men­dorong pertumbuhan agar menjadikan kota yang mandiri. Yayat Supriyatna, Pengamat per­kotaan dari Universitas Tri­sakti, mengatakan dibutuhkan infrastruktur memadai seperti jaringan air bersih, pengelolaan sampah, dan transportasi massal. “Dengan adanya pusat eko­nomi, kota-kota mandiri bisa bertumbuh,” katanya.(*)

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13129/contact

JEHAN:
Tepatnya, "Libatkan Swasta Sejak Dini,..." Lihat juga di notes FB saya:
http://www.facebook.com/jehan.siregar/posts/10150266627338655#!/note.php?note_id=10150276867142833


Kamis, 11 Agustus 2011

Kepedulian Pemerintah pada Kereta Api Rendah

MEGAPOLITAN | Perkotaan


Minggu, 07 Agustus 2011
Transportasi Umum

JAKARTA - Anjloknya rel kereta api Jatinegara menjadi bukti rendahnya kepedulian pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur jaringan transportasi massal kereta api. Hingga saat ini, sebagian besar infrastruktur rel kereta api masih merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda.

"Anjloknya kereta api itu berkaitan dengan rel. Perbaikan dan pembangunan rel merupakan tanggung jawab pemerintah pusat," kata pengamat transportasi, Jehansyah Siregar, Minggu (7/8).

Jehansyah menjelaskan infrastruktur rel kereta api merupakan proyek jangka panjang yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Penyediaan anggaran untuk membangun jaringan baru dan mengganti yang lama merupakan bagian dari investasi ekonomi publik dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat.

Pihak operator hanya mengelola gerbong dan stasiun kereta yang ada. Oleh karena itu, Jehansyah menilah anjloknya kereta api menjadi bukti rendahnya kepedulian pemerintah terhadap transportasi massal tersebut.

Menurut dia, Indonesia kalah bersaing dengan China dan Korea dalam membangun jaringan rel kereta api. "China untuk kereta cepatnya saja sudah mencapai 6.000 km dengan infrastruktur yang baru. Dengan APBN 1.200 triliun rupiah, Indonesia masih menggunakan rel sisa Belanda," jelasnya.

Terkait kemungkinan mengajak pihak swasta berinvestasi membangun jaringan rel, Jehansyah menilai hal itu sulit terealisasi. Pasalnya, membangun jaringan rel kereta api tidak menguntungkan secara finansial. Karena itu, pembangunan infrastruktur kereta api merupakan investasi ekonomi publik yang wajib dilakukan pemerintah pusat.

Keuntungan pemerintah dari pembangunan rel kereta api memang tidak bisa diharapkan dari pembelian tiket dan pengelolaan stasiun kereta api semata. Menurut dia, keuntungan dari infrastruktur kereta api adalah terurainya kemacetan yang merugikan ekonomi negara 20 triliun rupiah per tahun.

"Keuntungan ekonomi dari memadainya infrastruktur kereta api berasal dari pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat yang semakin meningkat. Keuntungan itu bisa dihitung dan diperkirakan mencapai 10 triliun setiap tahunnya," tegasnya.

Sebelumnya, Sabtu (6/8) pukul 20.15 WIB, kereta listrik Ekonomi dengan nomor 5850 rute Jakarta-Bekasi anjlok di depan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Akibat peristiwa tersebut, keberangkatan dua KRL dan empat kereta api jarak jauh terlambat karena harus memutar arah.

"Kereta yang berangkat dari Stasiun Senen harus memutar ke Stasiun Kota, ke Gambir lalu ke Jatinegara pada Sabtu malam lalu. Tapi saat ini sudah berjalan lancar sejak kereta api yang anjlok dievakuasi Minggu pagi pukul 1.15 WIB dan ditarik ke Balai Yasa Manggarai," kata Kepala Humas Kereta Api Daerah Operasional I Mateta Rizalulhaq. frn/P-2
antara


http://m.koran-jakarta.com/index.php?id=68561&mode_beritadetail=1

Sabtu, 06 Agustus 2011

Kewajiban Pengadaan Mesin Pengolahan Sampah Dapat Pengaruhi Harga Properti

5 Agustus 2011
.
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mewajibkan pengembang menyediakan fasilitas pemilah sampah pada 2012 akan berpe­ngaruh terhadap naiknya harga jual properti. Karena itu, kebijakan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada developer, sehingga perlu insentif dari pemerintah daerah.
.
Echsanullah, Wakil Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, mengatakan jika peraturan  tersebut diterapkan maka otomatis pengembang akan menaikkan harga yang akhirnya akan membebani konsumen. Kenaikan ini disebabkan bertambahnya biaya produksi yang harus dikeluarkan pengembang untuk pengadaan fasilitas pemilah dan pengolahan sampah tersebut.
.
“Yang pasti jika biaya produksi membengkak, pengembang pasti akan menaikkan harga sehingga yang menanggung konsumen juga,” ujarnya di Jakarta, Kamis.
.
Dia mengaku belum bisa me­ngukur berapa besar kenaikan harga properti. Besarnya kenaikan sangat bergantung pada tambahan biaya produksi dan luas lahan yang dikelola developer. Semakin luas areal, maka volume produknya semakin banyak sehingga tambahan biaya ditanggungkan secara merata kepada konsumen.
.
Menurut Echsanullah, peraturan pengolahan sampah tersebut sebenarnya cukup bagus dan perlu didukung. Tetapi kebijakan itu menjadi tidak adil bagi pengembang dan konsumen jika tidak didukung kemudahan dari pemerintah provinsi terutama menyangkut perizinan.
.
“Developer sudah dibebani de­ngan berbagai peraturan termasuk perizinan yang mahal. Biaya per­izinan itu sekitar 15%-30% dari ke­seluruhan biaya pembangunan. Ini memberatkan,” katanya.
.
Setyo Maharso, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia menuturkan pe­merintah tidak bisa sepenuhnya membebankan pengadaan fasilitas pengolahan sampah tersebut kepada pengembang. Jika benar-benar diberlakukan, maka pengembang akan meminta imbal balik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
.
“Jika kami diharuskan memba­ngun fasilitas tersebut, apa yang akan kami dapatkan dari pemerintah? Karena beban kami sendiri sudah pasti naik,” ujarnya.
.
Jehansyah Siregar, Pengamat Per­mukiman dari Institut Teknologi Bandung menegaskan penambahan fasilitas pengolahan sampah dipastikan akan berpengaruh terhadap harga rumah. “Bebannya akan dirasakan konsumen,” katanya.
.
Menurut dia, besarnya kenaikan harga yang dibebankan kepada konsumen akan bergantung pada standar yang diminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, luas lahan pemukiman, serta kemampuan finansial pengembang. “Semakin lengkap dan canggih fasilitas pe­ngolahan sampahnya, maka akan semakin besar pula kenaikan harga properti di proyek itu,” katanya.
.
PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), pengembang superblok Podomoro City, sudah menginvestasikan dana khusus untuk pengadaan fa­silitas pengolahan sampah. Handaka Santosa, Wakil Presi­den Direktur Agung Podomoro Land Tbk mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan fasilitas pemilahan sampah di Podomoro City tidak terlalu besar.
.
“Fasilitas pemilahan sampah ter­sebut menghabiskan biaya se­kitar Rp 200-500 juta,” jelasnya. Di superblok tersebut, Agung Podomoro Land mengembangkan area khusus untuk mengelola sampah-sampah organik di sekitar kawasan superblok. Green Waste tersebut mengelola hasil produksi sampah organik dari 10 tower apartemen, sekitar  6.000 unit yang terdapat di Superblok Podomoro City, hingga menjadi pupuk kompos.
.
IFT online, 5 Agustus 2011
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/12431/Kewajiban-Pengadaan-Mesin-Pengolahan-Sampah-Dapat-Pengaruhi-Harga-Properti
.
http://www.bumn.go.id/wika/publikasi/kewajiban-pengadaan-mesin-pengolahan-sampah-dapat-pengaruhi-harga-properti/

Pemerintah Bangun Inisiatif Kembangkan Kota Baru

<>5 Agustus 2011 Pemerintah harus mengambil prakarsa dan inisiatif dalam pengembangan kota baru di Indonesia. Hal ini didasari pada fenomena meningkatnya pertumbuhan kota baru, namun fungsi yang diembannya masih sebatas tempat bermukim (dormitory) saja. Demikian diungkapkan Direktur Bina Program dan Kemitraan Kementerian Pekerjaan Umum Rido Matari Ichwan dalam Talkshow “Mari Menata Ruang Kota” di Radio Trijaya FM Jakarta (4/8).
Lebih lanjut Rido menjelaskan, sebenarnya gagasan kota baru lahir sebagai upaya mencari solusi perumahan dan permukiman yang saat ini serius dihadapi oleh kota-kota besar. Selain itu juga dimaksudkan untuk mengurangi perkembangan kota yang menyebar secara acak di pinggiran kota metropolitan, seperti halnya Jakarta. Definisi kota baru sendiri adalah bentuk pengembangan lahan terpadu (integrated land development) untuk fungsi-fungsi utama tertentu, khususnya permukiman, pendidikan, dan industri dengan luasan lahan yang dikelola sekitar 300-500 Ha serta mampu menampung kurang lebih 30.000 penduduk. Situasi yang terjadi saat ini, kota baru cenderung belum menjalankan perannya sebagaimana mestinya yaitu mengurangi beban kota utama. Selain itu fasilitas sosial maupun fasilitas umum yang disediakan terkesan bersifat eksklusif dan terbatas hanya untuk pelayanan lingkungan internal, sementara akses bagi masyarakat sekitarnya belum diakomodasi secara luas. Selain itu, pengembangan kota baru sedikit banyak menjadi pemicu perkembangan kawasan perkotaan horisontal yang telah mengkonversi sawah/pertanian, lahan-lahan produktif dan kawasan lindung yang cukup signifikan.
Dosen sekaligus Peneliti pada KK Perumahan dan Permukiman ITB M. Jehansyah Siregar mengungkapkan, tujuan pembentukan kota baru yaitu untuk antisipasi proses urbanisasi. Sebagaimana diketahui, Jakarta bukan hanya menjadi satu-satunya kota yang memiliki daya tarik. Kawasan-kawasan yang berada di sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor sampai Puncak memiliki daya dorong yang tinggi di mata masyarakat. Sejak tahun 1992 hingga 2011 tumbuh sedikitnya 25 kota baru di sekitar Jakarta seperti di Tangerang yaitu Serpong dan Bintaro. “Saat ini pengelolaan kota baru lebih banyak dilakukan oleh swasta. Karenanya diperlukan political will yang kuat dari Pemerintah agar realisasi kota baru yang ideal dapat diterapkan,” imbuh Jehansyah. Di akhir kegiatan, Rido mengatakan bahwa ke depan harapannya kota baru dapat berkembang lebih cepat dan mampu mengurangi beban kota utamanya. Selain itu dalam realisasinya kota baru tidak berjalan secara sendirian namun ada keterkait dengan kota di sekitarnya. Terpenting adalah kota baru dapat diimplementasikan sesuai dengan kebijakan yang berlaku.(nik) Sumber : admintaru_050811 http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=1675
 

------------------------------------

Pertumbuhan kota baru belum maksimal

Oleh Dewi Andriani
Published On: 08 August 2011

JAKARTA: Pertumbuhan kota baru di Indonesia dinilai belum berjalan secara maksimal sesuai fungsinya yakni mengurangi beban kota utama. Direktur Bina Program dan Kemitraan Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU Rido Matari Ichwan mengatakan pembangungan kota baru (yang juga dikenal sebagai kota satelit) sejauh ini hanya sebatas  tempat pemukiman.
.
Selain itu, fasilitas sosial maupun fasilitas umum yang disediakan terkesan bersifat eksklusif dan hanya untuk pelayanan lingkungan internal, sementara akses bagi masyarakat sekitarnya belum diakomodasi secara luas.
Oleh karena itulah, sambungnya, pengembangan kota baru yang sebagian besar masih dikelola swasta dapat diambil alih oleh pemerintah agar dapat terealisasi sesuai tujuan awal.
.
“Pemerintah harus mengambil prakarsa dan inisiatif dalam pengembangan kota baru di Indonesia,” ujarnya  seperti dikutip dalam rilis Kementerian PU, hari ini. Pengembangan kota baru, menurutnya pun sedikit banyak menjadi pemicu perkembangan kawasan perkotaan horisontal yang telah mengkonversi sawah atau pertanian, lahan-lahan produktif, dan kawasan lindung yang cukup signifikan.
.
Hal senada disampaikan Peneliti Perumahan dan Pemukiman ITB M.Jehansyah Siregar. Menurut dia, kota baru dibentuk untuk mengantisipasi proses urbanisasi yang menjadi masalah serius yang dihadapi kota-kota besar sehingga fungsi tersebut seharusnya dapat dijalankan secara fungsional.
.
“Saat ini pengelolaan kota baru lebih banyak dilakukan oleh swasta. Karenanya, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah agar realisasi kota baru yang ideal dapat diterapkan,” papar Jehansyah. Sebagaimana diketahui, Jakarta bukan hanya menjadi satu-satunya kota yang memiliki daya tarik. Kawasan-kawasan yang berada di sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, hingga Puncak memiliki daya dorong yang tinggi di mata masyarakat.
.
Sejak 1992 hingga 2011, tumbuh sedikitnya 25 kota baru di sekitar Jakarta seperti di Tangerang, yaitu Serpong dan Bintaro.(mmh)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/34637-pertumbuhan-kota-baru-belum-maksimal

Rabu, 13 Juli 2011

ERP Does Not Deserve To be Applied Yet


JAKARTA: The proposed tariff rates for the pay street or Electronic Road Pricing (ERP) as uttered by Ditlantas (Traffic Directorate) of Polda Metro Jaya (Jakarta Regional Police) and Pemprov DKI Jakarta (Provincial Government of the Special Capital Territory of Jakarta) have been considered premature. In fact, Pemprov DKI should pay more attention to prepare a number of public facilities that can support the successful implementation of ERP.

University of Indonesia expert of public policy Andrinof Chaniago said that it is too early at this time for the people to be asked if they agree or disagree with the proposed ERP tariff. This is because the issue of ERP tariff is not yet appropriate to discuss for the time being. The government should start making proposals or issues regarding the ERP tariff when a host of requirements in the implementation of ERP have been met.

"People today should not be trapped in the issue whether to agree or disagree to the proposed tariff of ERP, which is said to reach Rp 75,000 - Rp 100,000. This is because, the ERP tariff rates do not currently deserve a discussion yet," he told SP, Tuesday (5 July).

This member of Indonesia Vision Team 2033 said that the society should not get trapped into talking about the ERP tariff. This is because, if the people have joined the polemic discussing the ERP tariff rates, it means they have agreed that the ERP policy will be implemented now.

"If the issue of tariffs is also talked about by the people, it means we agree to this policy. In fact, if viewed from the ethics of public policy, this policy has been replicated in the wrong way," he explained.

According to him, in some countries such as Singapore and Sweden, the ERP policy has been carried out after a long process. In the process, other public policies related to the efficiency of the people’s transport have been executed.

"So there are a number of requirements that the government should fulfil beforehand. It takes about 4 years to prepare for the implementation of ERP. The government should not simply impose the ERP without meeting certain requirements beforehand," he said.
He said that the ERP policy can be implemented if the government has provided urban housing facilities such as multi-storey flats or apartments for residents. This is because the urban housing system greatly influences the traffic system.

"In Singapore, before the enactment of ERP, the government first prepared the procurement of cheap apartments," he said. In addition to the procurement of housing facilities, continued Andrinof, the government must also prepare a mass transportation system. The Swedish government carried out the same policies when they wanted to implement the ERP policy.

He asserted that the society must firmly reject the ERP policy in the near future, because it does not fulfil the ethical requirements of public policy. If Pemprov DKI Jakarta insists on imposing the ERP at this time, the public is entitled to file a joint lawsuit (class action) in court.

Vehicle agePemprov DKI Jakarta is requested to first fix the entire public transport before imposing a vehicle age restriction policy. Without the provision of integrated public transport all the policies made will not effectively break down congestion in the Capital City. "There are a lot of things that can be done to address traffic congestion in Jakarta. What is important is the willingness of the government.

Provide a public transport system that is integrated, safe, and comfortable, then other measures such as the restriction on vehicle age and the ERP can follow," said transportation analyst of Bandung Institute of Technology (ITB), Jehansyah Siregar, to SP in Jakarta, Wednesday (6 July).

He explained that the Macro Transportation Pattern (PTM) designed by Pemprov DKI is actually good enough to be applied. All this time, the constraints of implementing PTM rest on a number of central government regulations. It was indeed agreed as one of the 17 measures to overcome congestion in the Capital City that a government regulation (PP) is needed to arrange the plan to limit the age of public transportation vehicles.
Nevertheless, the formulation of the PP must be thorough and capturing the aspirations of all parties. The policy should also consider local capacity as the executor. Moreover, the issue of technical age of vehicles will confront the problem of feasibility of public transport business in the regions. Jehansyah supported the government’s move to limit the maximum age of public transport vehicles to 10 years. However, that policy should not be applied in a hurry before there are public transportation alternatives for residents.

Head of DKI Jakarta Transportation Department Udar Pristono asserted that there should be a restriction on vehicle age of up to 10 years. The restriction could be done if the central government supports it. This policy should not only be in the form of the governor's decree. [Y-6/H-14]


http://www.indii.co.id/news_daily_detail.php?id=904

Sabtu, 02 Juli 2011

Berharap Solusi dari Kota Baru



Sejumlah persoalan masih mengadang

OLEH ANUGERAH PERKASA
Wartawan Bisnis Indonesia

Bagaimana pembangunan kota baru dapat mengurangi persoalan , perkotaan dan meminimalisasi angka defisit perumahan? Dalam buku berjudul Sejarah Penataan Ruang Indonesia, Suyono menuliskan kota baru yang dibangun di Indonesia adalah tempat untuk mengatasi sejumlah masalah perkotaan seperti lalu lintas, perumahan kumuh, pencemaran lingkungan, dan pedagang kaki lima. Menurut dia, kota baru harus lebih menarik daripada kota induk agar menarik orang bekerja di sana. Pembangunan kota jenis ini dimulai di Inggris pada abad ke-19 di mana terjadi pembangunan kota di sekitaribu kota negara itu, London.
.
Hal inilah yang kemudian ditiru banyak negara, termasuk di Indonesia. Suyono mengungkapkan contoh pembangunan kota baru adalah Kebayoran Baru, di mana direncanakan membangun sejumlah fasilitas seperti perbelanjaan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan taman terbuka hijau. "Sayangnya rencana itu tidak sepenuhnya dilaksanakan. Banyak taman terbuka hijau yang diubah menjadi area perkantoran, perumahan, dan perbelanjaan. Sejak 1980-an banyak rumah yang diubah fungsinya menjadi kantor," tutur Suyono.
.
Saat ini, Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mendefinisikan konsep kota baru adalah sebuah kawasan siap bangun yang lahannya bisa dari pengembang ataupun pemerintah daerah. Kawasan itu dapat digunakan untuk pembangunan hunian masyarakat ataupun menjadi sentra ekonomi dan pendidikan baru. Pemerintah sendiri menargetkan pembangunan kota baru yang terbentang di 10 provinsi.
Ke-10 provinsi yakni Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
.
Namun, Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso mengatakan implementasi proyek kota baru masih menunggu kebijakan teknis dari pemerintah untuk memberikan dukungan regulasi secara khusus bagi proyek tersebut. "REI menganggap proyek ini sangat strategis karena juga ada misi untuk mendukung program pemerintah dalam pengembangan konsep kawasan kota baru berbasis ekonomi. Kami terus berkoordinasi dengan para pengembang untuk mendukung proyek tersebut," katanya beberapa waktu lalu.
REI mencatat calon kota baru yang siap dikembangkan itu yakni Maja di Provinsi Banten. Gresik di Jawa Timur, dan di Sulawesi Selatan mencakup Makassar, Maros, dan Gowa.
Selain itu, tujuh proyek kota baru yang terletak di Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, masih dalam lahap penjajakan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah di lokasi proyek tersebut.

Peluang Investasi
.
Kementerian Perumahan Rakyat menilai kebutuhan rumah bagi masyarakat di kota-kota besar saat ini memang cukup besar sehingga membuka adanya peluang investasi di sektor perumahan yang bisa disinergikan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), dan pengembang. "Sudah saatnya pemda dan pengembang menjemput bola terkait pemenuhan perumahan bagi masyarakat. Sebab, rumah di Jakarta sudah sangat padat dan perlu dikembangkan ke daerah-daerah," tutur Suharso.
.
Selain itu, pemerintah pusat pun terus mengajak sejumlah negara untuk membangun kota baru. China adalah salah satu negara yang telah menandatangani perjanjian kerja sama untuk Kota Baru Maja, Banten. Selain itu, Kemenpera juga mengajak Singapura berinvestasi dalam pembangunan kota tersebut.
Saat ini, papar Suharso, pemerintah sedang mengembangkan Kota Maja sebagai sodetan atas lokasi perumahan baru bagi masyarakat di Jakarta. Kota yang berada di tiga daerah yakni Kabupaten Tangerang, Pandeglang, dan Bogor ini diharapkanbisa menjadi kota baru sehingga bisa mengurangi mobilitas warga di Ibu Kota. Untuk itu, pemerintah akan segera membangun infrastruktur kota seperti jalan dan rel kereta api sebagai jalur transportasi masyarakat.
.
Namun, upaya pendanaan asing untuk pembangunan kota baru mendapatkan kritik keras dari peneliti tata kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Jehansyah Siregar. Dia mengatakan skema kemitraan pemerintah dengan swasta atau public private partnership (PPP) juga perlu dikaji ulang kebutuhannya, karena pola itu berbeda sama sekali dengan pendanaan bersama.
.
Menurut Jehansyah, PPP yang diklaim di Indonesia itu berbeda sekali dengan praktik kemitraan pemerintah dengan swasta di negara maju. " Yang dikatakan PPP di Indonesia itu sebenarnya adalah privatisasi. Di negara-negara maju, skema PPP dikembangkan pada pelayanan publik di mana pemerintah sudah mampu mencapai tingkat pelayanan yang baik dan menjangkau seluruh warga," ujarnya. Jehansyah menjelaskan untuk mendukung pembangunan kota baru diperlukan pula suatu penyiapan kelembagaan dan organisasi publik yang kuat serta memiliki kapasitas yang memadai.
.
Aset publik
.
Pasalnya, pembangunan kota-kota baru itu bukan hanya soal konstruksi fisik danbisnis properti yang cukup dijalankan oleh sebuah organisasi proyek fisik. "Di atas itu semua, yang terpenting adalah soal pengelolaan aset publik yang membutuhkan landasan sistem kelembagaan, sistem perencanaan, sistem manajemen dan pembiayaan, serta sistem peraturan yang kuat. Di berbagai negara, disusun New Town Development Law untuk menjamin pelaksanaan pembangunan kota-kota baru berlangsung seperti yang diarahkan," papar Jehansyah.
.
Menurut dia, Indonesia harus belajar sistem kelembagaan dari berbagai negara tetangga seperti kelembagaan Korea Land and Housing Corporation (KLHC) yang sedang membangun Kota Baru Sejong. Inilah kota masa depan di Korea Selatan yang terletak di antara Seoul dan Busan. Selain itu, Kuala Lumpur City Center Authority, Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor, Perbadanan Putrajaya, dan Iskandar Development Authority yang di antaranya adalah lembaga-lembaga dan sistem yang dikembangkan di Malaysia.
.
Optimisme untuk mengatasi persoalan perkotaan dengan kota baru, tentunya menjadi keharusan bagi seluruh pihak terkait. Namun, melihat sejarah pembangunan kota di Tanah Air yang kian tak konsisten, apakah pembangunan kota baru akan menjawab segala persoalan itu atau justru mengalami masalah serupa dengan inkonsistensi? Kita lihat saja nanti. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

http://bataviase.co.id/node/725885

Kamis, 30 Juni 2011

Share APBN-APBD Bisa Danai Proyek Kota Baru

Finansial Hari ini Pkl. 06:55 WIB
 
MedanBisnis –Medan. Pendanaan proyek pembangunan kota baru di 10 propinsi di Indonesia masih mengundang pertanyaan banyak pihak. Pihak DPP REI menyebutkan masih memerlukan waktu dan kajian untuk merumuskan sumber pendanaannya.
Tapi dalam pandangan Ketua Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ir Zulfi Syarif Koto, proses pendanaan proyek itu bisa dicarikan solusinya asal semua pihak terkait memiliki komitmen yang kuat. Kata dia, apa yang telah dilakukan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Manoarfa layak diacungi jempol.

"Saya pikir sekarang ini tinggal komitmen kita yang kuat. Langkah Pak Menpera Suharso Manoarfa yang membuka peluang kerja sama pemerintah dan swasta saya pikir cukup baik.
Mekanisme Public Private Partnership (PPP) bisa dipandang menjadi langkah tepat dan cepat dalam mengatasi persoalan pendanaan," ujar mantan Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat periode 2008-2010 ini kepada MedanBisnis, Selasa (21/6).

Kata dia, dengan PPP maka dibuka kemungkinan terjadinya share pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD, plus keterlibatan swasta asing dan domestik, termasuk peminjaman dana dari sindikasi bank nasional.

Mantan Kepala Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Sumatera Utara periode 1999-2000 ini menyebutkan, keterlibatan asing dalam proyek kota baru dimungkinkan dengan cara loan yang dilakukan pemerintah terhadap pemerintah asing, dan kemudian dana loan itu disalurkan melalui APBN.

"Dan terlebih dahulu Bappenas harus menyiapkan bluebook mengenai penggunaan dana loan itu untuk realisasi proyek kota baru. Dengan demikian alokasi dana untuk proyek ini bisa tepat sasaran," ujarnya.

Karena itu ia sangat tidak setuju kalau mekanisme Public Private Partnership (PPP) itu dianggap sebagai celah masuk pihak asing turut bermain dalam proyek visioner tersebut. Kata dia, yang paling prinsip adalah realisasi proyek itu adalah demi pengadaan rumah yang baik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sikap Zulfi itu sebagai tanggapan atas kritik yang disampaikan peneliti tatakota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, di media massa terbitan Jakarta yang menilai pembangunan kota-kota baru pada dasarnya adalah investasi infrastruktur publik, sehingga tidak pantas jika dibangun dengan menggunakan dana asing.

Dalam pemikiran Zulfi Syarif Koto, sikap Jehansyah itu justru tidak tepat. Sebab yang paling penting,  adalah bagaimana setiap sen dana bisa digunakan tepat sasaran dalam proyek itu.
"Karena itu, mau dana loan atau dana dari manapun, ya tidak ada persoalan. Yang namanya uang kan tidak mengenal kewarnegaraan. Jadi, buat apa kita bersikap nasionalisme sempit dengan cara menggulirkan isu menolak dana asing," ujar Zulfi.

Pemerintah daerah dan pusat juga diharapkan bisa mengatasi rent sekker yang bisa membuat biaya tinggi dalam proyek tersebut. Ia menilai penggunaan setiap dana dengan visi effective cost housing akan memungkinkan dana proyek itu tidak sia-sia sama sekali.

Ini Ia nilai jauh lebih bermanfaat ketimbang pengelola proyek kota baru lebih suka menggunakan visi low cost housing yang cenderung dianggap remeh dan murahan karena hanya bermentalkan prinsip pembangunan rumah bermodal murah.

"Jadi, agar proyek ini bisa direalisasikan, walau dengan menggunakan dana pinjaman pihak asing sekalipun, patut dicatat agar persoalan rent seeker bisa diatasi, plus penggunaan dana yang effective cost housing sangat baik untuk proses pembangunan dan penjualan setiap rumah yang dibangun di setiap kota baru yang ada. Sebab kalau low cost housing kan cenderung dianggap tidak dipandang sama sekali," tegasnya.

Sebelumnya, Zulfi Syarif Koto sudah mengusulkan agar dalam rangka mewujudkan pembangunan 10 kota baru, diberikan insentif bunga kepada pengembang. (hendrik hutabarat)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/06/22/41061/share_apbn-apbd_bisa_danai_proyek_kota_baru/

New Cities Should Not be Funded by Foreigners

Inter-agency coordination is needed
.
By Anugerah Perkasa
.
JAKARTA - Development of new cities in Indonesia has continued to draw criticisms for its reliance on foreign funding and the weak coordination among concerned institutions, hence resulting in poor harmonisation of development.
.
Urban planning researcher from Bandung Institute of Technology Jehansyah Siregar said that investment for the development of new towns is essentially a public infrastructure undertaking, so it is not appropriate if it is built using foreign funds. The national budget for it, he explained, is very adequate at about Rp 150 trillion. "The budget is already adequate at the national level, coupled with the local government budget (APBD) level I (province) and level II (regency/city).
.
Another problem is the integration of development and coordination," said Jehansyah to Bisnis yesterday. He described that poor practices of public corporations, institutions of public asset management and operation in residential settlements and urban areas have also become one of the obstacles. According to Jehansyah, the matter of urban development does not, in fact, concern funding, which then requires foreign investment, but instead it concerns inter-agency harmonisation.
.
Master Plan
.
He said that foreign investment should only get its portion when a region has had its Master Plan prepared and the basic infrastructure facilities have been established. "We can learn from how Selangor, Malaysia, set up an area for foreign investment there. Everything is managed in an integrated manner by the Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor (Selangor State Development Agency)," he said. One of the city development projects is the new city of Maja. State Minister of Public Housing (Menpera) Suharso Monoarfa previously stated that the funds needed to build the new city of Maja would be around US$ 15 billion. To meet the need of those funds, Indonesia is inviting private and foreign (investors). Suharso revealed that Indonesia is currently only able to meet about 10 percent of the total funding needs. The available funds for the development of Maja City are just about US$ 1.2 billion, so that to meet the shortage of funds his office will invite businessmen and investors, both from home and abroad, as well as using the mechanism of public private partnership.
.
Furthermore, Menpera stated that Maja City will in due course become part of the Greater Jakarta programme. The city is also built to provide housing for low income people. The agreement on this new town has been signified by the signing of a memorandum of understanding between a consortium of companies led by Perum Perumnas, with the other companies comprising PT Wijaya Karya Tbk and PT Housing Development Tbk, and the MCC (a state-owned enterprise from China) as witnessed by Menpera in March. President Director of Perumnas Himawan Arief Sugoto said that his party has prepared the lands around Maja, Banten, West Java. According to him, the new town development of Maja will be more focused on the modem city. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

http://www.indii.co.id/news_daily_detail.php?id=760
-----------------------------------------------------------

Kota Baru Tak Layak Didanai Asing


Koordinasi Antar-Instansi Diperlukan

OLEH ANUGERAH PERKASA Bisnis Indonesia
.
JAKARTA Pembangunan kota baru di Indonesia terus mendapat kritikan karena mengandalkan pendanaan asing dan masih lemahnya koordinasi antarinstansi terkait, sehingga menyebabkan lemahnya keterpaduan pembangunan.
.
Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan investasi pembangunan kota-kota baru pada dasarnya adalah investasi infrastruktur publik, sehingga tidak pantas jika dibangun menggunakan dana asing.
.
Anggaran nasional untuk hal tersebut, paparnya, sudah sangat memadai yakni sekitar Rp 150 triliun.
"Anggaran sudah memadai di tingkat nasional, ditambah dengan APBD tingkat I dan II. Masalah lainnya adalah keterpaduan pembangunan dan koordinasi," ujar Jehansyah kepada Bisnis kemarin. Dia memaparkan buruknya korporasi publik, institusi pengelolaan dan pengoperasian aset publik dalam permukiman dan perkotaan juga menjadi salah satu kendala.
.
Menurut Jehansyah, masalah pembangunan kota justru bukan terletak pada pendanaan, sehingga diperlukan investasi asing, melainkan pada keterpaduan antarinstansi.
.
Rencana induk
.
Dia mengungkapkan investasi asing sebaiknya baru mendapatkan porsinya ketika suatu area sudah disiapkan rencana induk serta telah terbangunnya infrastruktur fasilitas dasar.
.
"Ini bisa dipelajari bagaimana Selangor, Malaysia menyiapkan suatu kawasan untuk investasi asing di sana. Semuanya dikelola secara terpadu oleh Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor," ujarnya.
Salah satu proyek pembangunan kota adalah Kota Baru Maja. Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa sebelumnya menyatakan dana yang dibutuhkan untuk membangun kota baru Maja sekitar USS15 miliar.
.
Untuk memenuhi kebutuhan dana itu. Indonesia mengajak swasta dan asing. Suharso mengungkapkan Indonesia saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari total kebutuhan dana tersebut. Dana yang tersedia untuk pembangunan Kota Maja itu baru sekitar US$1,2 miliar, sehingga untuk mengisi kekurangan dana tersebut pihaknya akan mengundang para pengusaha serta investor baik dari dalam maupun luar negeri serta mekanisme public private partnership.
.
Lebih lanjut, Menpera menyatakan Kota Maja nantinya merupakan bagian dari program Greater Jakarta. Kota itu juga dibangun untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kesepakatan kota baru itu ditandai dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman antara konsorsium perusahaan yang dipimpin Perum Perumnas, sedangkan lainnya adalah PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Pembangunan Perumahan Tbk dengan MCC (BUMN asal China) disaksikan oleh Menpera pada Maret lalu.
.
Direktur Utama Perumnas Himawan Arief Sugoto mengatakan pihaknya telah mempersiapkan lahan di sekitar Maja, Banten, Jawa Barat. Menurut dia, pengembangan Kota Baru Maja akan lebih difokuskan pada kota modem.
.
http://bataviase.co.id/node/714648

--------------------------------------------