Kamis, 22 Oktober 2015

Kota Baru Walini atau Kereta Cepat Jakarta-Bandung?


Di balik proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), akhirnya terungkap juga soal rencana pengembangan Kota Baru Walini (KBW) di lahan PTPN VIII seluas hampir 3000 ha. Namun bagaimana konsep dan pendekatan yang akan digunakan dalam pengembangan KBW tsb belum banyak diekspose karena KBW hanya ditempatkan sebagai side project dari proyek KCJB. Kiranya hal ini perlu diperjelas karena keduanya akan menjadi investasi yang terpadu dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kejelasan ini pula yang akhirnya bisa mendudukkan, sebenarnya proyek mana yang harus menjadi main project dan mana yang jadi side project.
.
Pertama, Apakah KBW akan dikembangkan dengan konsep bisnis properti atau kota berkelanjutan yang pembangunannya akan dikelola negara? Ini dua pendekatan yang sangat berbeda. Kota baru sebagai bisnis properti akan mengarah pada private sector driven sedangkan yang terakhir akan memakai pendekatan public sector led urban development.
.
Kota baru sebagai bisnis properti sudah banyak dibangun, terutama di sekitar Jabodetabek, seperti KB Kelapa Gading, KB BSD, KB Alam Sutera, KB Sentul, KB Citra, dsb. Di Bandung ada KB Parahyangan. Kenyataannya, pembangunan KB-KB bisnis properti tsb meskipun menghidupkan bisnis dan pemilikan aset bagi golongan menengah atas, namun banyak menimbulkan pelanggaran tata ruang, menambah kemacetan, menyedot pembangunan prasarana umum yang dibiayai negara, dan tidak menjadi solusi pemenuhan perumahan rakyat, dsb.
.
Akibatnya pembangunan KB-KB tidak terkendali dan berserak-serak di sekitar Jabodetabek dan Bandung yang merusak lingkungan, menghabiskan sumberdaya lahan dan prasarana publik. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak kunjung mau memimpin pembangunan kota-kota baru dan lebih senang melayani bisnis properti dengan spekulasi penyediaan prasarana dan pemberian izin-izin saja. Apa maksudnya spekulasi di sini? Tahu sendirilah.... Hehe.... Akibatnya pemerintah juga selalu mengecilkan peran Perumnas.
.
Nah, kalau pembangunan KBW di sini hanya dijadikan bantalan kompensasi kerugian transportasi kereta cepat, maka dia pasti akan terperangkap pada pendekatan kota bisnis properti. Pengembangan kawasan-kawasan kota baru tersebut akan dijadikan kompensasi kerugian pembangunan KCJB. Hal yang sama juga terjadi pada titik stasiun di Bandung, yaitu di kawasan Gedebage yang sudah dikuasai Summarecon.
.
Kedua, kalaulah pembangunan KBW memilih pendekatan pembangunan yang dipimpin oleh negara, maka negara akan menugaskan BUMN di bidangnya, seperti Perumnas misalnya. Bukan oleh BUMN lain yang kota baru itu bukan core businessnya. Apalagi Perumnas sudah sejak lama mengajukan peningkatan peran sebagai National Housing and Urban Development Corporation (NHUDC).
Kota Baru yang pembangunannya dipimpin negara akan mengedepankan RTH dan RTB 50%, perumahan rakyat berskala besar, public transport yang sesuai kebutuhan masyarakat kota yang hendak dibangun, dan barulah terakhir promosi investasi kawasan bisnis sebagai side projectnya. Jadi jika KBW benar-benar untuk tujuan kepentingan publik seperti itu, maka pilihan transportasinya belum tentu KCJB dan masih banyak pilihan lainnya. Pilihan sementara yang sudah ada tanpa perlu keluar biaya ialah adanya jalan tol Purbaleunyi yang melintasi KBW tersebut.
.
Pembangunan KBW yang dipimpin negara akan menugaskan badan negara yang melaksanakannya untuk menangkap peningkatan nilai lahan (land value gain capture) dari hasil pengembangan kawasan tersebut. Bukan melepaskannya ke pengembang swasta dan mengharapkan cipratannya yang disangka besar padahal sedikit itu. Hasil pengelolaan peningkatan nilai lahan itulah yang nantinya akan menutupi investasi penyediaan infrastruktur dan berbagai fasilitasnya untuk kepentingan publik seperti pengadaan listrik 500 MW, sumber air baku untuk air bersih, jalan-jalan dan transportasi umumnya, fasos dan fasum dan sebagainya. Jadi value gain itu justru tidak boleh dipakai untuk menutupi investasi KCJB itu, yang belum tentu dibutuhkan oleh KBW.
.
Kesimpulannya, pembangunan KBW sebagai bisnis properti dan kompensasi proyek KCJB hanya menempatkan negara sebagai pelayan bisnis yang mengkhianati rakyat dan lingkungan hidup. Karena pada saat yang sama perumahan rakyat, ruang terbuka dan fasilitas publik memiliki daftar kebutuhan investasi yang amat panjang yang mustahil dipenuhi oleh skema bisnis properti. Sedangkan pilihan pembangunan KBW yang dipimpin oleh negara akan mendudukkan peran negara yang sebenarnya, mengutamakan kepentingan rakyat dan lingkungan hidup, namun sambil tetap memberi ruang untuk berkembangnya bisnis properti, konstruksi dan bahkan transportasi.
.
Pernyataan Rektor ITB di bawah ini, yang mendukung pembangunan KBW yang dengan itu membuat pembenaran proyek KCJB.... Itu ibarat cuitan anak ayam yang kehilangan induknya.... Hehe.... Sorry to say that, Mr Rector...

Salam,
MJS,
Dosen SAPPK ITB


--------------------------------------------------

Kereta Cepat Topang Akses Pengembangan Rencana Kota Baru Walini


By