Kamis, 30 Juni 2011

Share APBN-APBD Bisa Danai Proyek Kota Baru

Finansial Hari ini Pkl. 06:55 WIB
 
MedanBisnis –Medan. Pendanaan proyek pembangunan kota baru di 10 propinsi di Indonesia masih mengundang pertanyaan banyak pihak. Pihak DPP REI menyebutkan masih memerlukan waktu dan kajian untuk merumuskan sumber pendanaannya.
Tapi dalam pandangan Ketua Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ir Zulfi Syarif Koto, proses pendanaan proyek itu bisa dicarikan solusinya asal semua pihak terkait memiliki komitmen yang kuat. Kata dia, apa yang telah dilakukan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Manoarfa layak diacungi jempol.

"Saya pikir sekarang ini tinggal komitmen kita yang kuat. Langkah Pak Menpera Suharso Manoarfa yang membuka peluang kerja sama pemerintah dan swasta saya pikir cukup baik.
Mekanisme Public Private Partnership (PPP) bisa dipandang menjadi langkah tepat dan cepat dalam mengatasi persoalan pendanaan," ujar mantan Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Perumahan Rakyat periode 2008-2010 ini kepada MedanBisnis, Selasa (21/6).

Kata dia, dengan PPP maka dibuka kemungkinan terjadinya share pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD, plus keterlibatan swasta asing dan domestik, termasuk peminjaman dana dari sindikasi bank nasional.

Mantan Kepala Dinas Penataan Ruang dan Permukiman Sumatera Utara periode 1999-2000 ini menyebutkan, keterlibatan asing dalam proyek kota baru dimungkinkan dengan cara loan yang dilakukan pemerintah terhadap pemerintah asing, dan kemudian dana loan itu disalurkan melalui APBN.

"Dan terlebih dahulu Bappenas harus menyiapkan bluebook mengenai penggunaan dana loan itu untuk realisasi proyek kota baru. Dengan demikian alokasi dana untuk proyek ini bisa tepat sasaran," ujarnya.

Karena itu ia sangat tidak setuju kalau mekanisme Public Private Partnership (PPP) itu dianggap sebagai celah masuk pihak asing turut bermain dalam proyek visioner tersebut. Kata dia, yang paling prinsip adalah realisasi proyek itu adalah demi pengadaan rumah yang baik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

Sikap Zulfi itu sebagai tanggapan atas kritik yang disampaikan peneliti tatakota dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, di media massa terbitan Jakarta yang menilai pembangunan kota-kota baru pada dasarnya adalah investasi infrastruktur publik, sehingga tidak pantas jika dibangun dengan menggunakan dana asing.

Dalam pemikiran Zulfi Syarif Koto, sikap Jehansyah itu justru tidak tepat. Sebab yang paling penting,  adalah bagaimana setiap sen dana bisa digunakan tepat sasaran dalam proyek itu.
"Karena itu, mau dana loan atau dana dari manapun, ya tidak ada persoalan. Yang namanya uang kan tidak mengenal kewarnegaraan. Jadi, buat apa kita bersikap nasionalisme sempit dengan cara menggulirkan isu menolak dana asing," ujar Zulfi.

Pemerintah daerah dan pusat juga diharapkan bisa mengatasi rent sekker yang bisa membuat biaya tinggi dalam proyek tersebut. Ia menilai penggunaan setiap dana dengan visi effective cost housing akan memungkinkan dana proyek itu tidak sia-sia sama sekali.

Ini Ia nilai jauh lebih bermanfaat ketimbang pengelola proyek kota baru lebih suka menggunakan visi low cost housing yang cenderung dianggap remeh dan murahan karena hanya bermentalkan prinsip pembangunan rumah bermodal murah.

"Jadi, agar proyek ini bisa direalisasikan, walau dengan menggunakan dana pinjaman pihak asing sekalipun, patut dicatat agar persoalan rent seeker bisa diatasi, plus penggunaan dana yang effective cost housing sangat baik untuk proses pembangunan dan penjualan setiap rumah yang dibangun di setiap kota baru yang ada. Sebab kalau low cost housing kan cenderung dianggap tidak dipandang sama sekali," tegasnya.

Sebelumnya, Zulfi Syarif Koto sudah mengusulkan agar dalam rangka mewujudkan pembangunan 10 kota baru, diberikan insentif bunga kepada pengembang. (hendrik hutabarat)

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/06/22/41061/share_apbn-apbd_bisa_danai_proyek_kota_baru/

New Cities Should Not be Funded by Foreigners

Inter-agency coordination is needed
.
By Anugerah Perkasa
.
JAKARTA - Development of new cities in Indonesia has continued to draw criticisms for its reliance on foreign funding and the weak coordination among concerned institutions, hence resulting in poor harmonisation of development.
.
Urban planning researcher from Bandung Institute of Technology Jehansyah Siregar said that investment for the development of new towns is essentially a public infrastructure undertaking, so it is not appropriate if it is built using foreign funds. The national budget for it, he explained, is very adequate at about Rp 150 trillion. "The budget is already adequate at the national level, coupled with the local government budget (APBD) level I (province) and level II (regency/city).
.
Another problem is the integration of development and coordination," said Jehansyah to Bisnis yesterday. He described that poor practices of public corporations, institutions of public asset management and operation in residential settlements and urban areas have also become one of the obstacles. According to Jehansyah, the matter of urban development does not, in fact, concern funding, which then requires foreign investment, but instead it concerns inter-agency harmonisation.
.
Master Plan
.
He said that foreign investment should only get its portion when a region has had its Master Plan prepared and the basic infrastructure facilities have been established. "We can learn from how Selangor, Malaysia, set up an area for foreign investment there. Everything is managed in an integrated manner by the Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor (Selangor State Development Agency)," he said. One of the city development projects is the new city of Maja. State Minister of Public Housing (Menpera) Suharso Monoarfa previously stated that the funds needed to build the new city of Maja would be around US$ 15 billion. To meet the need of those funds, Indonesia is inviting private and foreign (investors). Suharso revealed that Indonesia is currently only able to meet about 10 percent of the total funding needs. The available funds for the development of Maja City are just about US$ 1.2 billion, so that to meet the shortage of funds his office will invite businessmen and investors, both from home and abroad, as well as using the mechanism of public private partnership.
.
Furthermore, Menpera stated that Maja City will in due course become part of the Greater Jakarta programme. The city is also built to provide housing for low income people. The agreement on this new town has been signified by the signing of a memorandum of understanding between a consortium of companies led by Perum Perumnas, with the other companies comprising PT Wijaya Karya Tbk and PT Housing Development Tbk, and the MCC (a state-owned enterprise from China) as witnessed by Menpera in March. President Director of Perumnas Himawan Arief Sugoto said that his party has prepared the lands around Maja, Banten, West Java. According to him, the new town development of Maja will be more focused on the modem city. (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

http://www.indii.co.id/news_daily_detail.php?id=760
-----------------------------------------------------------

Kota Baru Tak Layak Didanai Asing


Koordinasi Antar-Instansi Diperlukan

OLEH ANUGERAH PERKASA Bisnis Indonesia
.
JAKARTA Pembangunan kota baru di Indonesia terus mendapat kritikan karena mengandalkan pendanaan asing dan masih lemahnya koordinasi antarinstansi terkait, sehingga menyebabkan lemahnya keterpaduan pembangunan.
.
Peneliti tata kota dari Institut Teknologi Bandung Jehansyah Siregar mengatakan investasi pembangunan kota-kota baru pada dasarnya adalah investasi infrastruktur publik, sehingga tidak pantas jika dibangun menggunakan dana asing.
.
Anggaran nasional untuk hal tersebut, paparnya, sudah sangat memadai yakni sekitar Rp 150 triliun.
"Anggaran sudah memadai di tingkat nasional, ditambah dengan APBD tingkat I dan II. Masalah lainnya adalah keterpaduan pembangunan dan koordinasi," ujar Jehansyah kepada Bisnis kemarin. Dia memaparkan buruknya korporasi publik, institusi pengelolaan dan pengoperasian aset publik dalam permukiman dan perkotaan juga menjadi salah satu kendala.
.
Menurut Jehansyah, masalah pembangunan kota justru bukan terletak pada pendanaan, sehingga diperlukan investasi asing, melainkan pada keterpaduan antarinstansi.
.
Rencana induk
.
Dia mengungkapkan investasi asing sebaiknya baru mendapatkan porsinya ketika suatu area sudah disiapkan rencana induk serta telah terbangunnya infrastruktur fasilitas dasar.
.
"Ini bisa dipelajari bagaimana Selangor, Malaysia menyiapkan suatu kawasan untuk investasi asing di sana. Semuanya dikelola secara terpadu oleh Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor," ujarnya.
Salah satu proyek pembangunan kota adalah Kota Baru Maja. Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Suharso Monoarfa sebelumnya menyatakan dana yang dibutuhkan untuk membangun kota baru Maja sekitar USS15 miliar.
.
Untuk memenuhi kebutuhan dana itu. Indonesia mengajak swasta dan asing. Suharso mengungkapkan Indonesia saat ini hanya mampu memenuhi sekitar 10% dari total kebutuhan dana tersebut. Dana yang tersedia untuk pembangunan Kota Maja itu baru sekitar US$1,2 miliar, sehingga untuk mengisi kekurangan dana tersebut pihaknya akan mengundang para pengusaha serta investor baik dari dalam maupun luar negeri serta mekanisme public private partnership.
.
Lebih lanjut, Menpera menyatakan Kota Maja nantinya merupakan bagian dari program Greater Jakarta. Kota itu juga dibangun untuk menyediakan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Kesepakatan kota baru itu ditandai dengan adanya penandatanganan nota kesepahaman antara konsorsium perusahaan yang dipimpin Perum Perumnas, sedangkan lainnya adalah PT Wijaya Karya Tbk, dan PT Pembangunan Perumahan Tbk dengan MCC (BUMN asal China) disaksikan oleh Menpera pada Maret lalu.
.
Direktur Utama Perumnas Himawan Arief Sugoto mengatakan pihaknya telah mempersiapkan lahan di sekitar Maja, Banten, Jawa Barat. Menurut dia, pengembangan Kota Baru Maja akan lebih difokuskan pada kota modem.
.
http://bataviase.co.id/node/714648

--------------------------------------------

Tolak Dana Asing Dalam Pembangunan Kota-kota Baru

Jakarta, 23/6/2011 (Kominfonewscenter) – Menolak dana asing dalam pembangunan kota-kota baru bukanlah sebuah pandangan nasionalisme sempit yang anti asing. “Hal ini perlu diletakkan secara proporsional dan tepat“, kata pegiat KP3R (Koalisi Peduli Perumahan dan Permukiman untuk Rakyat) M. Jehansyah Siregar, Ph.D, di Jakarta, Kamis (23/6).
.
Jehansyah menjelaskan, kota-kota baru yang lebih maju dan tertata pada dasarnya merupakan visi negara dalam mengantisipasi perkembangan kota-kota dan permukiman yang berkelanjutan. “Oleh karena itu kita perlu mengapresiasi dan mendukung rencana pemerintah tersebut”, katanya. Namun identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan sangat seksama. “Jangan mengandalkan dana asing, dan belum apa-apa sudah teken kontrak dengan asing”, tegas Jehansyah yang juga Dosen di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB (SAPPK-ITB) dan Peneliti di Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman ITB (KKPP-ITB).
.
Menurut Jehansyah pembangunan kota-kota baru adalah investasi publik jangka panjang, dimana kepentingan negara dan seluruh warganya dipertaruhkan di sana. Oleh karena itu dibutuhkan perencanaan yang sangat matang, tahap-demi tahapnya. Untuk mendukung pembangunan kota-kota baru diperlukan pula suatu set-up kelembagaan dan organisasi publik yang kuat dan memiliki kapasitas yang memadai. Karena pembangunan kota-kota baru bukan hanya soal konstruksi fisik dan bisnis properti yang cukup dijalankan oleh sebuah organisasi proyek fisik.
.
Di atas itu, semua yang terpenting adalah soal pengelolaan aset publik yang membutuhkan landasan sistem kelembagaan, sistem perencanaan, sistem manajemen dan pembiayaan, serta sistem peraturan yang kuat. Di berbagai negara disusun New Town Development Law untuk menjamin pelaksanaan pembangunan kota-kota baru berlangsung seperti yang diarahkan. Set-up kelembagaan pembangunan kota-kota baru membutuhkan divisi perencanaan, divisi manajemen aset, divisi operasionalisasi dan pemeliharaan, divisi manajemen pembiayaan, divisi pemasaran, dan berbagai perangkat organisasi yang tidak sesederhana yang dibayangkan selama ini.
.
”Indonesia harus belajar sistem kelembagaan dari berbagai negara tetangga dalam hal ini”, kata Jehansyah seraya menambahkan seperti kelembagaan Korea Land and Housing Corporation (KLHC) yang kini sedang membangun Kota Baru Sejong. Inilah Kota Masa Depan di Korea Selatan yang terletak di tengah antara Seoul dan Busan.
.
Jehansyah juga menunjuk Kuala Lumpur City Center Authority, Perbadanan Kemajuan Negeri Selangor, Perbadanan Putrajaya, dan Iskandar Development Authority adalah contoh diantara lembaga-lembaga dan sistem yang dikembangkan di Malaysia. Housing and Development Board, Urban Redevelopment Authority, dan Port of Singapore Authority bisa ditiru dari pengalaman Singapura. Demikian juga Urban Development Corporation dan Urban Renaissance di Jepang yang menjadi aktor belakang layar dari kemajuan Tokyo dan Osaka beserta kota-kota satelitnya untuk bersaing dengan kota-kota dunia lainnya.
.
“Sekali lagi, persoalan pembangunan kota-kota baru bukanlah persoalan dana dan dana asing”, kata Jehansyah. Persoalannya adalah perencanaan, sistem kelembagaan, kapasitas manajemen, kapasitas operasional dan perawatan, dan system peraturan yang memadai.
.
Sharing pendanaan adalah hal yang lumrah dalam pembangunan berskala besar. Termasuk jika ada pendanaan dari pihak asing, di dalam dunia usaha hal ini juga lumrah. Namun identifikasi masalah perlunya sharing pendanaan dikarenakan pemerintah tidak memiliki dana membangun infrastruktur untuk kota-kota baru, inilah yang keliru.
.
Menurut Jehansyah skema Public-Private Partnership (PPP) juga perlu dikaji ulang kebutuhannya, karena PPP berbeda sama sekali dengan sharing pendanaan. PPP yang diklaim di Indonesia itu berbeda sekali dengan praktek PPP di negara maju. “Yang dikatakan PPP di Indonesia itu sebenarnya adalah Privatisasi”, katanya. Di negara-negara maju, skema PPP dikembangkan pada pelayanan publik dimana pemerintah sudah mampu mencapai tingkat pelayanan yang baik dan menjangkau seluruh warga, manakala pihak swasta sudah mampu menjalankan pelayanan publik yang sangat efisien. Kemudian, dengan acuan kinerja yang sudah dijalankan pemerintah, pelayanan publik dapat dikerjasamakan dengan swasta. (mnry)
http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1437%3Atolak-dana-asing-dalam-pembangunan-kota-kota-baru&catid=36%3Anasional-khusus&Itemid=54

Siap-siap, 10 Kota Baru Bakal Dibangun!

Natalia Ririh | Latief | Sabtu, 25 Juni 2011 | 22:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia akan membangun sepuluh kota baru yang berbasis ekonomi di sejumlah wilayah Indonesia. Tiga dari sepuluh kota baru tersebut telah siap dan mendapat dukungan dari Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa.
.
Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso, ketika ditemui di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengatakan bahwa sepuluh kota baru tersebut berada di Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. "Tiga dari sepuluh kota baru yang telah siap dibangun itu, yakni di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, dan Kota Maja di Banten," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (25/6/2011).
.
Dengan dukungan Kementerian Perumahan Rakyat, lanjut Setyo, kota pertama yang akan dibangun adalah Kota Baru Maja di Banten. Kota Maja dipilih lantaran didukung oleh pemerintah yang telah bekerja sama dengan pengembang Tiongkok dalam menentukan rencana induk (master plan).
.
Rencananya, area seluas 6.000 hektar siap dikembangkan di kota baru ini. Dukungan yang diharapkan dari pemerintah berupa kemudahan perizinan, aturan rencana tata ruang wilayah (RTRW), rencana induk pengembangan kota, dan penyediaan infrastruktur.
.
Pengamat perumahan dan kawasan permukiman dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, menyatakan, pembangunan kota-kota baru merupakan investasi publik jangka panjang karena di situlah kepentingan negara dan seluruh warganya dipertaruhkan.
.
"Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan sangat matang tahap demi tahapnya. Namun, identifikasi masalah, perencanaan, dan pelaksanaannya perlu dilakukan dengan sangat saksama. Jangan mengandalkan dana asing, dan belum apa-apa sudah kontrak dengan asing," ujarnya.
.
Untuk mendukung pembangunan kota-kota baru tersebut, diperlukan juga suatu penyusunan kelembagaan dan organisasi publik yang kuat dan memiliki kapasitas memadai. Menurut Jehan, pembangunan kota-kota baru bukan hanya soal konstruksi fisik dan bisnis properti yang cukup dijalankan oleh sebuah organisasi proyek fisik.
.
"Yang terpenting adalah soal pengelolaan aset publik yang membutuhkan landasan sistem kelembagaan, sistem perencanaan, sistem manajemen dan pembiayaan, serta sistem peraturan yang kuat," tutur Jehan.
.
http://properti.kompas.com/read/2011/06/25/22351290/Siap-siap.10.Kota.Baru.Bakal.Dibangun
.
Jehan:
Kota2 baru yg dibangun developer swasta takkan pernah bisa mengalokasikan ruang utk permukiman golongan bawah. Dan memang tak perlu menuntut mereka untuk bisa itu. Pemerintahlah yang harus memimpin. Bukan dg proyek-proyek printilan dan konsesi bersalut rente. Tapi dengan sistem penyediaan publik (public oriented housing and urband development delivery system) yang kuat: konsep, pendekatan, landasan peraturan, kapasitas manajemen, dan sistem kelembagaan kuat. Inilah yang menentukan, apakah akan dibangun 10 Kota Baru Komersial, atau 10 Kota Baru untuk Semua Warga.

--------------------------------------------------

Kemitraan di Kota Baru Agar Dikaji






Senin, 27 Juni 2011

OTJ Koordinasikan Atasi Kemacetan

Perkotaan
Jumat, 24 Juni 2011 | 22:27:53 WIB

JAKARTA – Rencana pemerintah pusat membentuk lembaga Otoritas Transportasi Jabodetabek (OTJ) dinilai positif. Lembaga baru itu merupakan lembaga tinggi yang diharapkan mampu mengoordinasikan beberapa institusi di wilayah Jabodetabek.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono menilai pembentukan OTJ akan membantu Pemprov DKI Jakarta menjalankan program-program yang menghubungkan beberapa wilayah dan beberapa institusi.

"OTJ harus dilihat secara positif sebagai lembaga yang akan mengoordinasikan antarwilayah dan antar-institusi dengan tujuan mengurai kemacetan di DKI Jakarta," kata dia, Jumat (24/6).

Pristono mencontohkan saat Pemprov DKI ingin membangun jaringan jalur bus Transjakarta hingga Tangerang dan Bekasi, dibutuhkan sebuah lembaga lebih tinggi yang mampu mengoordinasi tiga provinsi itu. Begitu juga dengan rencana PT Kereta Api Indonesia (KAI) membangun jalur Serpong Bogor Line. Perlu ada lembaga yang mengoordinasi institusi milik pemerintah dengan pemerintah daerah.

OTJ juga dinilai positif karena nantinya, pembangunan sistem transportasi dilakukan secara bersama-sama, dengan institusi daerah dan dengan kementerian. "Dengan adanya OTJ, pembangunan nanti tidak berjalan sendiri dan pengajuan anggarannya bisa sekaligus," ungkapnya.

Terkait dengan kewenangan OTJ mengambil alih perizinan trayek angkutan umum, Pristono memandang hal itu dari sisi positif. Ia menilai kewenangan perizinan trayek yang dimiliki OTJ ialah mengoordinasi Dinas Perhubungan DKI Jakarta mengeluarkan trayek angkutan umum yang jalurnya terintegrasi dengan infrastruktur transportasi seperti stasiun, tol, dan jembatan layang.

Ia kembali mencontohkan saat pembangunan jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta yang merupakan tugas Kementerian PU atau Dinas PU. Saat pembangunan jalan, OTJ juga akan memerintahkan Dishub DKI membuat trayek yang menghubungkan jembatan tersebut dengan lokasi lain.

"OTJ akan sangat kerepotan jika mau ambil alih semua yang terkait dengan transportasi. Tapi jika hanya mendelegasikan kepada setiap insitusi yang ada di pemerintah pusat dan daerah untuk membangun secara bersamaan lebih mungkin," tegasnya.

Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung, Jehansyah Siregar, mengatakan OTJ harus fokus pada pembangunan sistem kelembagaan, kapasitas, dan sistem manajemen. Ia berharap OTJ dapat berdiri seperti BUMN atau lembaga lainnya yang memiliki tugas berkesinambungan dalam mengurai kemacetan.

Untuk itu, kata dia, OTJ harus memanfaatkan waktu dan wewenangnya untuk membangun sistem kelembagaan dengan membuat rencana induk integrasi transportasi dan tahapan pelaksanaannya dari jangka pendek sampai jangka panjang.

Pembangunan sistem kapasitas yang dimaksud ialah membuat perencanaan pembangunan jaringan transportasi di seluruh wilayah Jabodetabek. Adapun pembangunan sistem manajemen lebih difokuskan pada membantu operator transportasi yang ada, seperti MRT dan bus Transjakarta, untuk mengembangkan jalur ke wilayah di luar DKI Jakarta.

Kerusakan Jalan

Secara terpisah, dosen Universitas Tarumanegara, Rasji, mengatakan pengguna jalan yang dirugikan akibat kerusakan sarana dan prasarana jalan raya sehingga mengalami kecelakaan, apalagi sampai meninggal dunia, dapat menuntut ke pengadilan. Pasalnya, sesuai UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan, pengguna jalan dilindungi hak-haknya dan warga dapat mengajukan class action melalui pengadilan.

"Dalam UU No 22 Tahun 2009, yang bertanggung jawab atas keamanan, kenyamanan sarana dan prasarana jalan adalah pengelola jalan, dalam hal ini antara lain Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan," kata dia saat dialog interaktif penerapan hukum bagi masyarakat. frn/P-2


http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/65295