Kritik pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) oleh Prof. Emil Salim baru-baru ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Kritik Prof Emil Salim bukan lagi soal urgensi pemindahan IKN dalam situasi negara saat ini, melainkan juga sudah menggugat kembali alasan-alasan pentingnya pembangunan IKN di Kalimantan. Kini wacana pemindahan IKN sudah bercampur baur antara alasan-alasan pentingnya pembangunan IKN di Kalimantan dengan langkah-langkah yang dilakukan pemerintah.
Menurut saya ini adalah dua hal yang
berbeda. Alasan pemindahan IKN sudah panjang lebar diperdebatkan. Intinya,
pemindahan IKN ke Kalimantan adalah skenario ambisius bangsa Indonesia yang
menunjukkan keberanian dan kemampuannya untuk membangun kota-kota baru
sekaligus menetapkan episentrum baru wilayah nusantara. Sedangkan alasan-alasan
pesimis dan kebetahan berbagai kalangan dalam melihat Jakarta yang tunggang
langgang memikul beban kota yang bertumpuk-tumpuk, pulau Jawa yang sangat padat
penduduknya dan krisis lingkungan di berbagai penjurunya, dan mereka belum
melihat suatu urgensi pindah IKN, biarlah terus dipelihara oleh mereka yang
hanya ingin berkomentar dan menonton saja.
Perdebatan soal alasan-alasan
pentingnya pembangunan IKN di Kalimantan segeralah kita sudahi saja. Secara
politik, presiden SBY dahulu hingga tahun 2014 masih terlalu banyak
menimbang-nimbang, sedangkan Jokowi berani bertindak. Indonesia maju hanya
kalau dipimpin pemerintah yang berani. Sekarang mari fokuskan perhatian pada
pelaksanaan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah sejak tahun 2015. Dalam
hal ini proyek-proyek yang dijalankan Bappenas, Kementerian ATR, Kementerian
PUPR dan lembaga lainnya.
Menurut saya langkah-langkah
pelaksanaan yang dijalankan pemerintah, terutama oleh Bappenas dan PUPR
hari-hari ini sangatlah bermasalah. Mulai dari sayembara desain hingga
pelaksanaan proyek-proyek konstruksi terkait. Di antaranya adalah kurang mampu
merespon situasi keuangan negara dan perekonomian yang cukup memprihatinkan
saat ini.
Persoalan lain yang bermasalah juga
adalah pemerintah tidak mampu menjalankan suatu perencanaan pembangunan jangka
panjang yang sistematis. Sudah banyak masukan bahwa pembangunan IKN itu adalah
program jangka panjang yang bisa makan waktu 20 tahun dan paling cepat 10
tahun. Namun pemerintah abai saja. Disangkanya IKN bisa pindah ketika sederet
proyek jalan-jalan dan gedung-gedung sudah selesai. Dipikirnya pembangunan kota
itu identik dengan kumulasi pembangunan infrastruktur fisik semata. Kini
pemerintah tanpa roadmap pembangunan kota yang jelas, mengatakan Ibu Kota
Negara pindah tahun 2024. Sungguh diragukan dan berpotensi jadi kebohongan
baru.
Masih banyak lagi langkah-langkah
pemerintah yang hanya melanjutkan kebiasaan kementerian main-main proyek dan
bukannya membangun urban development delivery system yang baik. Misalnya saja,
pemerintah tidak bisa membedakan antara Badan Pembangunan IKN yang menjalankan
proses perencanaan dan pembangunan yang panjang serta membutuhkan Undang-undang
tersendiri, dan Badan Otorita DKI yang menjalankan DKI sejak DKI diresmikan
Pemerintah dan DPR berdasarkan Undang-undang Daerah Khusus Ibukota yang
ditetapkan. Ketidakpahaman ini akhirnya membuat pelaksanaan pembangunan
dijalankan secara ugal-ugalan. Proses pembangunan dilepas begitu saja sebagai
daftar panjang proyek-proyek konstruksi semata.
Tidak mengherankan jika kemudian bukan
hanya kritik yang dituai pemerintah. Namun muncul persangkaan yang tidak-tidak
di balik semua langkah itu. Mulai dari rencana kotor RR China mau menguasai
Indonesia, rencana menjauhkan IKN dari umat Islam, permainan proyek-proyek
konstruksi bernilai jumbo, dan sebagainya. Wah, wah, wah…. tahapahapa sajalah
yang dibahas. Tapi sekali lagi, semua kontroversi itu bukan karena gagasan
pembangunan IKN di Kalimantan, tapi karena cara-cara instansi pemerintah
menjalankannya.
MJS - Dosen SAPPK ITB
30 Oktober 2021