Kamis, 25 Agustus 2011

Pengembangan Kota Baru Butuh Koordinator




Oleh Eko Adityo Nugroho

JAKARTA - Pemerintah perlu membentuk lembaga untuk mengoordinasikan pengembangan kota-kota baru di berbagai wilayah Indonesia. Lembaga bertugas untuk mendampingi dan mengawasi peruntukan kota baru sesuai kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah.
.
Koordinator bisa berasal dari lembaga tinggi pemerintah maupun bentukan lembaga baru. "Lembaga yang menjadi koordinator bisa dari Wakil Presiden, Kementerian Koordinator Perekonomian, Bappenas, atau bentuk kementerian tersendiri," tutur pendiri Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) Zulfi Syarif Koto kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (22/8).
.
Koordinator, lanjutnya, mendampingi proses pengembangan kota-kota baru sesuai dengan arahan dalam kebijakan. Lembaga ini diharapkan mencegah terjadinya pelanggaran tata ruang wilayah (RTRW) kota baru, termasuk peruntukanya. "Kalau pengawasan pengembangan kota baru dilimpahkan kepada pemerintah daerah, pembangunannya akan berjalan sendiri-sendiri sesuai kemauannya," paparnya.
Dia menjelaskan, kota baru harus dibangun sesuai RTRW induk atau tata ruang provinsi. Kota baru dikembangkan sejalan dengan rencana infrastruktur dan fasilitas sosial yang telah ditetapkan pemerintah daerah.
.
Pemerintah berencana membangun sebanyak 10 kota baru mandiri di berbagai wilayah Indonesia. Lokasi pengembangan diproyeksikan di Sumatera Utara, Riau, Palembang, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.
.
Lembaga Baru
.
Pandangan senada diungkapkan oleh pemerhati perumahan dan tata kota dari ITB M. Jehansyah Siregar. Menurut dia, pengembangan kota baru harus di bawah kendali pemerintah. Perpanjangan tangan pemerintah bisa melalui lembaga bentukan yang memiliki kewenangan penuh untuk pengawasan pengembangan kota baru itu. Lembaga ini bertugas mengonsentrasikan pembangunan prasarana dan sarana, utilitas dan fasilitas permukiman, serta membagi-bagi kawasan siap bangun. Lembaga ini juga wajib memimpin dan bekerja sama dengan pihak-pihak yang terlibat, baik kalangan pengusaha swasta, koperasi, maupun kelompok-kelompok masyarakat.
.
"Peran ini tidak dapat diserahkan kepada pihak swasta maupun pihak-pihak lainnya. Inilah yang disebut sebagai public sector-led large scale settlements/new towns development," terang dia. Guna menjalankan kepemimpinan sektor publik dalam pengembangan kota-kota baru, jelas Jehansyah, ada beberapa prakondisi, yaitu kemauan politik kuat untuk menempatkan sektor publik sebagai pemimpin pembangunan kota-kota baru. Pengembangan kota baru juga harus didukung dengan kebijakan yang jelas.
.
"Pelaksanaan kebijakan-kebijakan ini perlu dijamin melalui kerangka regulasi yang sinkron dan harmonis, seperti New Town Development Law untuk menjamin pembangunan kota baru berjalan dengan baik, terhindar dari praktik spekulasi dan miskoordinasi," katanya.
.
Lembaga ini harus memiliki kapasitas yang memadai untuk memimpin pengembangan kawasan secara terpadu dilengkapi berbagai perangkat pendukung, seperti Agency Integrity Pact, Land Speculation Report Center, dan sebagainya, sebagaimana diterapkan di lembaga-lembaga sejenis di negara lain. "Sebagai langkah aksinya, pemerintah perlu memantapkan peran dan kapasitas pengembang publik, baik di tingkat nasional maupun daerah," ujar dia.


http://www.investor.co.id/property/pengembangan-kota-baru-butuh-koordinator/18778

http://bataviase.co.id/node/781540

Senin, 22 Agustus 2011

Pengembangan Kota Baru Dikritisi

Oleh Eko Adityo Nugroho | Senin, 22 Agustus 2011 | 13:12

JAKARTA - Praktisi perumahan dan tata kota menilai pengembangan kota-kota mandiri baru yang direncanakan pemerintah dan pengembang keliru jika bertujuan mengurangi populasi di kotakota metropolitan.

Tujuan sebenarnya adalah untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan untuk menata ruang-ruang marginalnya secara efektif. “Rencana ini harus dimengerti sebagai sebuah koreksi atas salah kaprah pemahaman atas fenomena urbanisasi,” papar praktisi perumahan dan tata kota dari Institut Teknologi Bandung M Jehansyah Siregar, kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.

Dia menambahkan, rencana pembangunan kota-kota baru ini, menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa urbanisasi bukan hanya tidak bisa dihindari, tapi juga fenomena positif yang harus direspons dengan baik.

Urbanisasi yang terjadi tiap tahun, lanjutnya, membuat ruang-ruang marginal di kota metropolitan makin luas dan melebar ke wilayah pinggiran Jakarta. Itu terjadi karena manajemen perkotaan yang lemah dan membiarkan ruang-ruang marginal atau sisa ruang perkotaan berkembang secara tidak terencana.

Baca selengkapnya di Investor Daily versi cetak


http://www.investor.co.id/home/pengembangan-kota-baru-dikritisi/18684#Scene_1

Sabtu, 20 Agustus 2011

PEMBANGUNAN KOTA BARU SEBAGAI SOLUSI

Thursday, 18 August 2011 23:12

Jakarta, 18/8/2011 (Kominfonewscenter) – Pembangunan kota-kota baru merupakan salah satu strategi yang umumnya dilakukan di berbagai negara yang telah maju dalam mengelola urbanisasi. Anggota Tim Visi Indonesia 2033 Ir. Moh. Jehansyah Siregar MT, PhD mengemukakan di Jakarta Kamis (18/8), salah satu jenis pembangunan kota-kota baru di kawasan metropolitan dan kota-kota besar adalah dengan membangun kota-kota satelit maupun kota-kota mandiri.
.
Jehansyah secara panjang lebar menjelaskan arus urbanisasi yang mendera kota-kota besar dan metropolitan di tanah air akan semakin meningkat seiring pertumbuhan ekonomi yang membuat kota-kota besar begitu memikat dengan berbagai ragam aktifitas pertukaran barang dan jasa. Berdasar data terakhir tahun 2008 jumlah penduduk kota sudah melampaui jumlah penduduk desa, dan diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 68 persen pada tahun 2025.
.
Permasalahan kemudian muncul karena manajemen kota tidak kunjung mampu mengimbangi laju urbanisasi tersebut dengan kapasitas pelayanan kebutuhan dasar yang benar-benar dibutuhkan, seperti perumahan, air bersih, sanitasi, transportasi umum dan massal, pengendalian banjir, ruang terbuka hijau, energi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
.
Kekurangan kebutuhan dasar yang terus menerus inilah yang menimbulkan berbagai bencana perkotaan seperti kemacetan, kecelakaan lalu lintas, banjir, permukiman kumuh dan liar, penggusuran, banjir, penyakit menular, gelandangan, anak jalanan, dan sebagainya. Berbagai bentuk ketimpangan dan paradoks sosial-ekonomi-lingkungan kota ini akan semakin meningkat tanpa adanya strategi pembangunan nasional perkotaan dan strategi pembangunan kota-kota.
.
Tanpa strategi, sumber-sumberdaya utama kota semakin meningkat dan terakumulasi hanya dalam lingkaran penguasaan kalangan mampu perkotaan. Kondisi seperti ini bukan hanya menimbulkan masalah kesenjangan, segregasi sosial dan segregasi spasial. Lebih jauh, dalam situasi kesenjangan yang tinggi, harga-harga berbagai barang akan mengalami inflasi. Situasi pengadaan tanah yang hanya diserahkan kepada mekanisme pasar liberal akan mendorong inflasi harga tanah kota secara drastis. Hal ini diperparah dengan peningkatan biaya-biaya utilitas melalui privatisasi. Semua keadaan yang serba liberal ini bermuara kepada semakin miskinnya dan semakin rentannya warga kota secara luas untuk jatuh miskin.
.
Sebelum beranjak ke solusi permasalahan perlu kiranya memahami urbanisasi sebagai sebuah fenomena positif. Memahami urbanisasi sebagai biang masalah perkotaan sehingga harus dicegah merupakan awal dari pandangan yang salah kaprah. Justru manajemen kota itu diperlukan untuk menyerap proses urbanisasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengelola pemanfaatan sumberdaya ruang kota dan mengembangkan sistem penyediaan berbagai pelayanan dasar kota.
.
Cara pandang negatif terhadap urbanisasi tidak dapat dipisahkan dari liberalisasi pembangunan kota dan pembiaran-pembiaran dalam pemanfaatan ruang kota. Sebagai dampaknya, kelompok miskin semakin terpinggirkan ke sudut-sudut kota yang tidak layak huni. Mereka mengokupasi tanah-tanah yang bukan untuk permukiman, seperti di kolong jembatan, di belakang gedung-gedung tinggi, di bantaran rel kereta api, bantaran sungai, tanah-tanah negara, dan sebagainya. Keadaan ini semakin meningkatkan pemadatan dan penjalaran permukiman kumuh dan informal perkotaan, persis di tengah berlangsungnya akumulasi modal sekelompok yang beruntung.
.
Pola pembangunan permukiman informal yang menyebar dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang marjinal kota semakin membebani pengelolaan kota. Dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang paling hebat menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana.
.
Inilah penjelasan yang mantap terhadap pertanyaan, mengapa meskipun sudah banyak dibangun kawasan-kawasan permukiman baru di sekitar Jakarta dan Bodetabek, namun permukiman kumuh dan kepadatan kota Jakarta yang menyesakkan tidak kunjung berkurang? Dapat dipahami, jawabannya adalah karena meluasnya kawasan permukiman baru di Jakarta dan sekitarnya berlangsung di bawah iklim manajemen kota yang tetap membiarkan ruang-ruang marjinal kota.
.
Akibatnya, ruang-ruang marjinal kota semakin meluas dan semakin hebat daya tariknya terhadap arus urbanisasi. Ruang-ruang marjinal yang sebelumnya hanya ada di Jakarta kini meluas menjadi ruang-ruang marjinal di seantero Jabodetabek. Dalam rangka menangani tantangan urbanisasi yang cepat itu maka dilakukan berbagai upaya pemerataan pembangunan wilayah dan perkotaan.
.
Rencana pemerintah menyiapkan pembangunan 10 kota baru di 10 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Palembang, Banten-DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan, adalah sebuah prakarsa yang menjanjikan. Rencana ini harus dimengerti sebagai sebuah koreksi atas salah kaprah pemahaman atas fenomena urbanisasi sebelumnya.
Dengan rencana pembangunan kota-kota baru ini berarti pemerintah telah menyadari bahwa urbanisasi bukan hanya tidak bisa dihindari, namun urbanisasi juga adalah fenomena positif yang harus segera direspon dengan baik.
.
Namun ada beberapa koreksi yang perlu segera ilakukan, seperti disebutkan, tujuan pembangunan kota-kota baru bukanlah untuk mengurangi tingginya populasi kota-kota besar (Metropolitan) di Indonesia.
Namun tepatnya adalah untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan mengembangkan berbagai prakarsa menata ruang-ruang marjinalnya secara efektif.
.
Metropolitan-metropolitan yang memiliki angka populasi tinggi namun tertata secara kompak dan berkeadilan, dan di sisi lain kota-kota baru yang terencana sejak awal diringi kapasitas manajemen kota yang memadai, keduanya adalah sama-sama merupakan peluang dan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan menata lingkungan yang berkelanjutan. Koreksi lainnya dari prakarsa kota-kota baru tersebut adalah langkah awal yang diambil pemerintah adalah bekerja sama dengan para pengembang yang tergabung dalam Real Estate Indonesia (REI). ”Ini adalah langkah yang keliru. Hal ini justru akan semakin melanggengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya”, kata Jehansyah.
.
Kapasitas manajemen kota yang lemah dan pembiaran-pembiaran yang dilakukannya, di tengah gencarnya para pengembang swasta membangun berbagai kawasan permukiman, hanya mengulang pola tata ruang yang terpencar-pencar secara eksklusif dan menghasilkan mosaik ruang kota yang tidak beraturan. Praktek “business as usual” ini janganlah diulang-ulang, karena sudah terbukti hanya menghasilkan ruang-ruang marjinal kota yang semakin luas dan semrawut dan semakin jauh dari kemampuan penanganan manajemen kota.
.
Pembangunan kota yang membiarkan praktek bisnis dalam melahap ruang-ruang kota dan tetap memelihara kelemahan kapasitas pemerintah dalam mengelola kota ini akhirnya menghasilkan metropolitan yang semakin besar dan semakin kuat menarik migran dari pedesaan untuk memadati ruang-ruang marjinal kota yang semakin tidak terkelola. Akhirnya pola lama ini justru akan menjauhkan kota-kota sebagai harapan perbaikan kesejahteraan. Sebaliknya, malah tetap menjadikan kota-kota sebagai perangkap kemiskinan yang berkelanjutan. (myk)
.
http://kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1549:pembangunan-kota-baru-sebagai-solusi&catid=36:nasional-khusus&Itemid=54

Rabu, 17 Agustus 2011

Libatkan Swasta, Pengembangan Kota Baru Dinilai Keliru

JAKARTA (IFT) - Prakarsa pembangunan kota-kota baru yang dilakukan pemerintah be­kerja sama dengan pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia dianggap ke­liru.

Jehansyah Siregar, pe­nga­mat permukiman dan per­kotaan dari Institut Teknologi Bandung mengatakan dengan menggandeng pengembang, pe­merintah justru semakin melang­gengkan pola pembangunan kota-kota sebelumnya yang semrawut.

Menurut dia, penataan kota-kota yang butuk selama ini di­sebabkan kapasitas manajemen kota mayoritas developer di Indonesia yang lemah dan adanya pembiaran oleh pemerintah daerah sebagai otoritas pemberi izin dalam pengembangan ka­wasan permukiman.

“Kalau pengembangan kota-kota baru itu diserahkan juga ke­pada pengembang, maka kekhi­lafan itu akan terulang kem­bali.   Kita hanya akan mengulang pola tata ruang yang bersifat sporadis, eksklusif dan tidak beraturan. Praktek business as usual ini jangan terus diulang, karena hanya menghasilkan ruang-ruang mar­jinal kota,” tegasnya, Selasa.

Jehansyah menambahkan tujuan pembangunan kota-kota baru bukanlah untuk mengurangi tingginya populasi kota-kota besar di Indonesia. Namun untuk memberi kesempatan kepada kota-kota metropolitan mengembangkan berbagai pra­karsa untuk menata ruang-ruang marjinalnya secara efektif.

Pengembangan kota-ko­ta baru yang dicanangkan peme­­rintah dan developer membutuhkan pusat-pusat ekonomi untuk men­dorong pertumbuhan agar menjadikan kota yang mandiri. Yayat Supriyatna, Pengamat per­kotaan dari Universitas Tri­sakti, mengatakan dibutuhkan infrastruktur memadai seperti jaringan air bersih, pengelolaan sampah, dan transportasi massal. “Dengan adanya pusat eko­nomi, kota-kota mandiri bisa bertumbuh,” katanya.(*)

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/13129/contact

JEHAN:
Tepatnya, "Libatkan Swasta Sejak Dini,..." Lihat juga di notes FB saya:
http://www.facebook.com/jehan.siregar/posts/10150266627338655#!/note.php?note_id=10150276867142833


Kamis, 11 Agustus 2011

Kepedulian Pemerintah pada Kereta Api Rendah

MEGAPOLITAN | Perkotaan


Minggu, 07 Agustus 2011
Transportasi Umum

JAKARTA - Anjloknya rel kereta api Jatinegara menjadi bukti rendahnya kepedulian pemerintah pusat dalam membangun infrastruktur jaringan transportasi massal kereta api. Hingga saat ini, sebagian besar infrastruktur rel kereta api masih merupakan peninggalan masa penjajahan Belanda.

"Anjloknya kereta api itu berkaitan dengan rel. Perbaikan dan pembangunan rel merupakan tanggung jawab pemerintah pusat," kata pengamat transportasi, Jehansyah Siregar, Minggu (7/8).

Jehansyah menjelaskan infrastruktur rel kereta api merupakan proyek jangka panjang yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat. Penyediaan anggaran untuk membangun jaringan baru dan mengganti yang lama merupakan bagian dari investasi ekonomi publik dan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat.

Pihak operator hanya mengelola gerbong dan stasiun kereta yang ada. Oleh karena itu, Jehansyah menilah anjloknya kereta api menjadi bukti rendahnya kepedulian pemerintah terhadap transportasi massal tersebut.

Menurut dia, Indonesia kalah bersaing dengan China dan Korea dalam membangun jaringan rel kereta api. "China untuk kereta cepatnya saja sudah mencapai 6.000 km dengan infrastruktur yang baru. Dengan APBN 1.200 triliun rupiah, Indonesia masih menggunakan rel sisa Belanda," jelasnya.

Terkait kemungkinan mengajak pihak swasta berinvestasi membangun jaringan rel, Jehansyah menilai hal itu sulit terealisasi. Pasalnya, membangun jaringan rel kereta api tidak menguntungkan secara finansial. Karena itu, pembangunan infrastruktur kereta api merupakan investasi ekonomi publik yang wajib dilakukan pemerintah pusat.

Keuntungan pemerintah dari pembangunan rel kereta api memang tidak bisa diharapkan dari pembelian tiket dan pengelolaan stasiun kereta api semata. Menurut dia, keuntungan dari infrastruktur kereta api adalah terurainya kemacetan yang merugikan ekonomi negara 20 triliun rupiah per tahun.

"Keuntungan ekonomi dari memadainya infrastruktur kereta api berasal dari pertumbuhan aktivitas ekonomi masyarakat yang semakin meningkat. Keuntungan itu bisa dihitung dan diperkirakan mencapai 10 triliun setiap tahunnya," tegasnya.

Sebelumnya, Sabtu (6/8) pukul 20.15 WIB, kereta listrik Ekonomi dengan nomor 5850 rute Jakarta-Bekasi anjlok di depan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur. Akibat peristiwa tersebut, keberangkatan dua KRL dan empat kereta api jarak jauh terlambat karena harus memutar arah.

"Kereta yang berangkat dari Stasiun Senen harus memutar ke Stasiun Kota, ke Gambir lalu ke Jatinegara pada Sabtu malam lalu. Tapi saat ini sudah berjalan lancar sejak kereta api yang anjlok dievakuasi Minggu pagi pukul 1.15 WIB dan ditarik ke Balai Yasa Manggarai," kata Kepala Humas Kereta Api Daerah Operasional I Mateta Rizalulhaq. frn/P-2
antara


http://m.koran-jakarta.com/index.php?id=68561&mode_beritadetail=1

Sabtu, 06 Agustus 2011

Kewajiban Pengadaan Mesin Pengolahan Sampah Dapat Pengaruhi Harga Properti

5 Agustus 2011
.
Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mewajibkan pengembang menyediakan fasilitas pemilah sampah pada 2012 akan berpe­ngaruh terhadap naiknya harga jual properti. Karena itu, kebijakan ini tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada developer, sehingga perlu insentif dari pemerintah daerah.
.
Echsanullah, Wakil Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, mengatakan jika peraturan  tersebut diterapkan maka otomatis pengembang akan menaikkan harga yang akhirnya akan membebani konsumen. Kenaikan ini disebabkan bertambahnya biaya produksi yang harus dikeluarkan pengembang untuk pengadaan fasilitas pemilah dan pengolahan sampah tersebut.
.
“Yang pasti jika biaya produksi membengkak, pengembang pasti akan menaikkan harga sehingga yang menanggung konsumen juga,” ujarnya di Jakarta, Kamis.
.
Dia mengaku belum bisa me­ngukur berapa besar kenaikan harga properti. Besarnya kenaikan sangat bergantung pada tambahan biaya produksi dan luas lahan yang dikelola developer. Semakin luas areal, maka volume produknya semakin banyak sehingga tambahan biaya ditanggungkan secara merata kepada konsumen.
.
Menurut Echsanullah, peraturan pengolahan sampah tersebut sebenarnya cukup bagus dan perlu didukung. Tetapi kebijakan itu menjadi tidak adil bagi pengembang dan konsumen jika tidak didukung kemudahan dari pemerintah provinsi terutama menyangkut perizinan.
.
“Developer sudah dibebani de­ngan berbagai peraturan termasuk perizinan yang mahal. Biaya per­izinan itu sekitar 15%-30% dari ke­seluruhan biaya pembangunan. Ini memberatkan,” katanya.
.
Setyo Maharso, Ketua Umum DPP Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia menuturkan pe­merintah tidak bisa sepenuhnya membebankan pengadaan fasilitas pengolahan sampah tersebut kepada pengembang. Jika benar-benar diberlakukan, maka pengembang akan meminta imbal balik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
.
“Jika kami diharuskan memba­ngun fasilitas tersebut, apa yang akan kami dapatkan dari pemerintah? Karena beban kami sendiri sudah pasti naik,” ujarnya.
.
Jehansyah Siregar, Pengamat Per­mukiman dari Institut Teknologi Bandung menegaskan penambahan fasilitas pengolahan sampah dipastikan akan berpengaruh terhadap harga rumah. “Bebannya akan dirasakan konsumen,” katanya.
.
Menurut dia, besarnya kenaikan harga yang dibebankan kepada konsumen akan bergantung pada standar yang diminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, luas lahan pemukiman, serta kemampuan finansial pengembang. “Semakin lengkap dan canggih fasilitas pe­ngolahan sampahnya, maka akan semakin besar pula kenaikan harga properti di proyek itu,” katanya.
.
PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), pengembang superblok Podomoro City, sudah menginvestasikan dana khusus untuk pengadaan fa­silitas pengolahan sampah. Handaka Santosa, Wakil Presi­den Direktur Agung Podomoro Land Tbk mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan fasilitas pemilahan sampah di Podomoro City tidak terlalu besar.
.
“Fasilitas pemilahan sampah ter­sebut menghabiskan biaya se­kitar Rp 200-500 juta,” jelasnya. Di superblok tersebut, Agung Podomoro Land mengembangkan area khusus untuk mengelola sampah-sampah organik di sekitar kawasan superblok. Green Waste tersebut mengelola hasil produksi sampah organik dari 10 tower apartemen, sekitar  6.000 unit yang terdapat di Superblok Podomoro City, hingga menjadi pupuk kompos.
.
IFT online, 5 Agustus 2011
.
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/12431/Kewajiban-Pengadaan-Mesin-Pengolahan-Sampah-Dapat-Pengaruhi-Harga-Properti
.
http://www.bumn.go.id/wika/publikasi/kewajiban-pengadaan-mesin-pengolahan-sampah-dapat-pengaruhi-harga-properti/

Pemerintah Bangun Inisiatif Kembangkan Kota Baru

<>5 Agustus 2011 Pemerintah harus mengambil prakarsa dan inisiatif dalam pengembangan kota baru di Indonesia. Hal ini didasari pada fenomena meningkatnya pertumbuhan kota baru, namun fungsi yang diembannya masih sebatas tempat bermukim (dormitory) saja. Demikian diungkapkan Direktur Bina Program dan Kemitraan Kementerian Pekerjaan Umum Rido Matari Ichwan dalam Talkshow “Mari Menata Ruang Kota” di Radio Trijaya FM Jakarta (4/8).
Lebih lanjut Rido menjelaskan, sebenarnya gagasan kota baru lahir sebagai upaya mencari solusi perumahan dan permukiman yang saat ini serius dihadapi oleh kota-kota besar. Selain itu juga dimaksudkan untuk mengurangi perkembangan kota yang menyebar secara acak di pinggiran kota metropolitan, seperti halnya Jakarta. Definisi kota baru sendiri adalah bentuk pengembangan lahan terpadu (integrated land development) untuk fungsi-fungsi utama tertentu, khususnya permukiman, pendidikan, dan industri dengan luasan lahan yang dikelola sekitar 300-500 Ha serta mampu menampung kurang lebih 30.000 penduduk. Situasi yang terjadi saat ini, kota baru cenderung belum menjalankan perannya sebagaimana mestinya yaitu mengurangi beban kota utama. Selain itu fasilitas sosial maupun fasilitas umum yang disediakan terkesan bersifat eksklusif dan terbatas hanya untuk pelayanan lingkungan internal, sementara akses bagi masyarakat sekitarnya belum diakomodasi secara luas. Selain itu, pengembangan kota baru sedikit banyak menjadi pemicu perkembangan kawasan perkotaan horisontal yang telah mengkonversi sawah/pertanian, lahan-lahan produktif dan kawasan lindung yang cukup signifikan.
Dosen sekaligus Peneliti pada KK Perumahan dan Permukiman ITB M. Jehansyah Siregar mengungkapkan, tujuan pembentukan kota baru yaitu untuk antisipasi proses urbanisasi. Sebagaimana diketahui, Jakarta bukan hanya menjadi satu-satunya kota yang memiliki daya tarik. Kawasan-kawasan yang berada di sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor sampai Puncak memiliki daya dorong yang tinggi di mata masyarakat. Sejak tahun 1992 hingga 2011 tumbuh sedikitnya 25 kota baru di sekitar Jakarta seperti di Tangerang yaitu Serpong dan Bintaro. “Saat ini pengelolaan kota baru lebih banyak dilakukan oleh swasta. Karenanya diperlukan political will yang kuat dari Pemerintah agar realisasi kota baru yang ideal dapat diterapkan,” imbuh Jehansyah. Di akhir kegiatan, Rido mengatakan bahwa ke depan harapannya kota baru dapat berkembang lebih cepat dan mampu mengurangi beban kota utamanya. Selain itu dalam realisasinya kota baru tidak berjalan secara sendirian namun ada keterkait dengan kota di sekitarnya. Terpenting adalah kota baru dapat diimplementasikan sesuai dengan kebijakan yang berlaku.(nik) Sumber : admintaru_050811 http://www.penataanruang.net/detail_b.asp?id=1675
 

------------------------------------

Pertumbuhan kota baru belum maksimal

Oleh Dewi Andriani
Published On: 08 August 2011

JAKARTA: Pertumbuhan kota baru di Indonesia dinilai belum berjalan secara maksimal sesuai fungsinya yakni mengurangi beban kota utama. Direktur Bina Program dan Kemitraan Ditjen Penataan Ruang Kementerian PU Rido Matari Ichwan mengatakan pembangungan kota baru (yang juga dikenal sebagai kota satelit) sejauh ini hanya sebatas  tempat pemukiman.
.
Selain itu, fasilitas sosial maupun fasilitas umum yang disediakan terkesan bersifat eksklusif dan hanya untuk pelayanan lingkungan internal, sementara akses bagi masyarakat sekitarnya belum diakomodasi secara luas.
Oleh karena itulah, sambungnya, pengembangan kota baru yang sebagian besar masih dikelola swasta dapat diambil alih oleh pemerintah agar dapat terealisasi sesuai tujuan awal.
.
“Pemerintah harus mengambil prakarsa dan inisiatif dalam pengembangan kota baru di Indonesia,” ujarnya  seperti dikutip dalam rilis Kementerian PU, hari ini. Pengembangan kota baru, menurutnya pun sedikit banyak menjadi pemicu perkembangan kawasan perkotaan horisontal yang telah mengkonversi sawah atau pertanian, lahan-lahan produktif, dan kawasan lindung yang cukup signifikan.
.
Hal senada disampaikan Peneliti Perumahan dan Pemukiman ITB M.Jehansyah Siregar. Menurut dia, kota baru dibentuk untuk mengantisipasi proses urbanisasi yang menjadi masalah serius yang dihadapi kota-kota besar sehingga fungsi tersebut seharusnya dapat dijalankan secara fungsional.
.
“Saat ini pengelolaan kota baru lebih banyak dilakukan oleh swasta. Karenanya, diperlukan political will yang kuat dari pemerintah agar realisasi kota baru yang ideal dapat diterapkan,” papar Jehansyah. Sebagaimana diketahui, Jakarta bukan hanya menjadi satu-satunya kota yang memiliki daya tarik. Kawasan-kawasan yang berada di sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, hingga Puncak memiliki daya dorong yang tinggi di mata masyarakat.
.
Sejak 1992 hingga 2011, tumbuh sedikitnya 25 kota baru di sekitar Jakarta seperti di Tangerang, yaitu Serpong dan Bintaro.(mmh)

http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/34637-pertumbuhan-kota-baru-belum-maksimal